Bernas.id – Masa remaja, adalah masa yang sangat rentan. Menjalin komunikasi dengan remaja memerlukan keterampilan berkomunikasi empatik. Jika salah menanggapi maksud dari sang anak, remaja dapat bersikap sangat menentang sang orang tua, memilih lebih mendengarkan teman-temannya, dan menjadi pribadi yang tertutup.
Walaupun belum dikategorikan sebagai orang dewasa, remaja sudah tidak dapat diperlakukan sebagai anak kecil. Mereka tidak dengan mudah menerima dirinya diperintah tanpa alasan yang jelas.
Permasalahan yang timbul antara orang tua dan anak remaja kebanyakan timbul karena terhambatnya komunikasi. Pada dasarnya komunikasi adalah proses pengiriman sebuah pesan oleh seseorang yang kemudian diterjemahkan oleh penerima pesan. Jika pesan yang dikirim dan pesan yang diterima sama maksudnya, maka proses komunikasi berjalan dengan lancar.
Namun ketika pesan yang dikirim salah diterima oleh yang mendengar, proses komunikasinya terganggu. Seringkali hal ini menyebabkan kesalahpahaman antara orangtua dan anak remajanya. Dalam beberapa kasus, remaja tidak serta merta menyampaikan permasalahan mereka secara eksplisit. Sehingga diperlukan usaha dan pendekatan untuk memahaminya.
Seorang anak yang takut akan ulangan matematika suatu hari mengungkapkan bahwa dirinya malas sekolah. Alih-alih bertanya lebih dalam tentang permasalahannya, sang ibu spontan memarahi anaknya dan menasehatinya panjang lebar tentang pentingnya sekolah.
Dalam peristiwa lainnya, seorang remaja terus-menerus melontarkan gurauan di kelas yang membuat semua temannya tertawa di saat dia seharusnya mengerjakan latihan soal dari guru. Sang guru menegur remaja tersebut bahkan melabelnya sebagai anak pembuat onar. Padahal remaja yang bersangkutan tidak memahami materinya dan berusaha menarik perhatian guru.
Thomas Gordon seorang pakar disiplin positif menjabarkan langkah-langkah untuk membina komunikasi efektif dengan remaja. Langkah-langkah ini dituangkannya ke dalam buku ?Teacher Effectiveness Training?.
1. Pahami Betul Masalahnya, Jadilah Cermin
Ketika anak mengucapkan sesuatu, jangan terburu-buru menyimpulkan bahwa yang disampaikan adalah masalah sebenarnya. Gali masalah sebenarnya lebih dalam dengan mengulangi kata-kata anak layaknya kita adalah sebuah cermin. Hindari langsung memberikan nasehat.
Jika anak mengatakan bahwa dirinya malas sekolah, ulangi kembali kata tersebut. Berikut contoh percakapan seorang ibu dengan anaknya.
“Jadi kamu malas sekolah?” tanya seorang Ibu.
“Iya, aku malas sekolah. Karena di sekolah ada pelajaran Matematika” jawab Anak.
“Kamu malas sekolah karena di sekolah ada pelajaran Matematika?”, Ibu mengulangi kata yang sama (cermin).
“Iya, aku selalu merasa bodoh dalam pelajaran Matematika” kembali Anak menjelaskan.
“Kamu merasa bodoh dalam pelajaran Matematika?” Ibu mengulangi lagi (cermin).
“Betul, Ibu.” Akhirnya anak bersedia mengungkapkan masalah sebenarnya.
2. Sampaikan Harapan dan Alasan Kita Sebagai Orang Tua
Sampaikan harapan kita secara tulus dan alasan di balik harapan kita. Hindari menggunakan kata yang dimulai dari kamu. Seperti “kamu menyebalkan” atau “kamu tidak bisa diatur”. Kata “kamu” akan terkesan menyudutkan anak dan meletakkan posisi kesalahan pada anak. Ganti kata “kamu” dengan “saya” disertai harapan kita dan alasannya.
“Ibu merasa kaget mendengar kamu tidak mau sekolah. Ibu berharap sekolah menjadi tempat yang menyenangkan buatmu.”
3. Cari Win-Win Solution
Fokuskan diri pada solusi, bukan pada masalahnya. Ajak anak berpikir dan tuntun untuk menyelesaikan permasalahannya sendiri dengan memikirkan solusi yang dapat menyenangkan bagi dirinya maupun orang lain. Contoh kalimat yang dapat digunakan seperti ini.
“Ibu berharap dapat membantumu”, kata Ibu.
“Mungkin Ibu dapat membantuku dengan mengajariku beberapa soal Matematika”, jawab Anak.
Sang ibu bisa menyampaikan kesedian membantunya dalam mengerjakan tugas matematika dan sang anak bersedia untuk masuk sekolah. Maka win-win solution dapat tercapai.
Berkomunikasi dengan anak yang beranjak remaja memang tidak mudah. Dengan berlatih mendengar, maka kita akan lebih didengar anak kita.