Bernas.id – Sebagaimana yang sudah diketahui, dalam menerbitkan buku ada dua pilihan penerbit, mayor dan indie. Dahulu, untuk menerbitkan buku hanya bisa dengan mesin cetak offset. Biaya operasional mesin itu sangat mahal sehingga sekali cetak minimal harus mencetak 1.000-3.000 ekslampar. Modal cetak buku yang menggigit jari belum ditambah dengan derita buku yang rilis malah tidak laris. Itulah kenapa ada seleksi ketat. Hanya naskah yang dipandang laku di pasaran yang bisa lolos.
Dengan perkembangan teknologi yang super kilat, akhirnya muncul mesin cetak digital. Beruntungnya mesin ini bisa dibeli dengan harga bersahabat. Ini membuka peluang munculnya penerbit self publishing (indie) jadi marak. Sejak saat itulah penerbit bisa mencetak hanya satu sampai dua ekslampar pun bukan masalah.
Dengan dua pilihan tadi, sering terjadi perdebatan mana yang lebih baik antara mencetak mayor atau indie. Sebaiknya, kita bedah dulu apa untung rugi antara mayor dengan indie secara gamblang. Ini untuk membantu Anda dalam mengambil keputusan.
Modal
Jelas sekali, penerbitan mayor lebih memanjakan penulis. Tanpa mengeluarkan uang sepeser pun untuk biaya cetak, penerbit bisa menanggung 1.000-3.500 ekslampar. Penulis tinggal menunggu kabar kapan bukunya tampil di toko buku. Bagi penulis yang masih pelajar, ini sangat menyenangkan. Artinya, lewat mayor biaya cetak buku itu GRATIS!
Berbanding terbalik dengan penerbit indie, penulisnya harus siap membiayai modal cetaknya sendiri. Setiap penerbit memiliki perbedaan harga dengan mempertimbangkan ketebalan buku, jenis sampul buku, dan lain-lainnya. Untuk mencetak ribuan ekslampar, penulis wajib menyediakan uang bisa mencapai ratusan jutaan rupiah. Mau tidak mau, cetaknya sesuai dengan isi kantong. Jumlah bukunya pun sesuai dengan pemesanan.
Distribusi ke Masyarakat
Dengan didukung distributor yang mumpuni, buku Anda yang dicetak mayor bisa menyebar ke toko-toko buku di Indonesia. Bagi Anda yang ingin menaikkan otoritas, ini sangat cocok buat Anda. Buku yang Anda tulis akan sejajar dengan buku-buku yang ditulis tokoh besar lainnya. Berhasil tembus dan masuk toko buku merupakan prestasi membanggakan bagi penulis. Bagi Anda yang tidak jago marketing, Anda sangat terbantu dengan ini.
Sedangkan, penerbit indie tidak menyediakan distributor. Mereka mempromosilkan buku-buku yang sudah terbit lewat media sosial dan web. Namun, selagi Anda tahu cara bagaimana menjual buku Anda ke publik itu persoalan kecil. Bahkan sekalipun Anda tak jago promosi, minimal buku Anda sudah terbit.
Antara Gengsi, Ketenaran dan Pajak
Menerbitkan buku lewat mayor merupakan gengsi. Secara bukunya lolos seleksi dari ratusan sampai ribuan naskah yang masuk ke redaksi. Mau pajaknya tinggi, terbit lewat mayor berpotensi mudah sang penulis jadi tenar. Akses untuk penulis dikenal lebih luas lagi pun sangat terbuka. Tinggal bagaimana merancang strategi supaya orang-orang berbondong ke toko-toko buku terdekat demi membeli buku Anda. Bagi penulis pemula, ini tantangan!
Sebaliknya dengan penerbit indie yang kurang punya karisma. Sedikit sekali penulis indie yang namanya santer di telinga masyarakat. Pamornya kalah dengan penerbit mayor. Bagusnya, masih ada poin plus, tanpa pajak yang tinggi.
Waktu, Kualitas, dan Royalti
Pengerjaan buku lewat mayor bisa menempuh tiga sampai enam bulan untuk jadi buku sempurna dan menyebar ke seluruh toko buku. Berbeda dengan penerbit indie yang hanya memakan waktu seminggu sampai dua bulan sudah jadi buku yang siap dijual. Ini tentu berpengaruh pada kualitas buku. Dengan SDM yang menunjang, penerbit mayor bisa mengeluarkan buku dengan kualitas terbaik. Penerbit indie lazimnya secara kualitas di bawah mayor. Jika pun ingin sebanding, rogoh koceknya harus lebih besar dari biasanya.
Untuk royalti jelas indie lebih menggiurkan. Penulis bisa diberikan kebebasan menentukan harga bukunya sendiri. Satu buku penulis bisa meraup 20-40% royalti. Sedangkan mayor dibatasi 7-15% saja. Wajar, biaya cetak semua ditanggung penerbit. Jadi, cukup adil.
Nah, tinggal Anda pilih, mau mayor atau indie?