BERNAS.ID – Pada September 2021, pemerintah meluncurkan Indonesia Wellness Tourism International Festival 2021 sebagai upaya dalam mempromosikan dan mendukung wisata kesehatan di Indonesia.
Sebagai informasi, wellness tourism atau wisata kebugaran yang biasanya dibalut dengan budaya setempat merupakan bagian dari wisata kesehatan, seperti halnya wisata medis.
Mengutip dari Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), wisata medis merupakan perjalanan ke wilayah lain untuk memperoleh pemeriksaan, tindakan medis, dan/atau pemeriksaan kesehatan lainnya di rumah sakit.
Dengan potensi alamnya, Indonesia dinilai memiliki peluang yang besar dalam memajukan industri wisata kesehatan, salah satunya dengan pembangunan RS Internasional Bali atau Bali International Hospital.
Baca Juga: Upaya Melestarikan Jamu Nusantara di Era Modern Melalui Wisata Medis
Peletakkan batu pertama telah dilakukan oleh Presiden Joko Widodo pada 27 Desember 2021. Pembangunan RS ini ditargetkan rampung pada pertengahan 2023.
RS Internasional Bali ini diharapkan akan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus Kesehatan atau KEK Kesehatan, yang tidak hanya mempromosikan wisata medis, tapi juga wisata kebugaran.
Di sisi lain, Global Wellness Institute dalam laporan terbarunya, nilai ekonomi global terkait wellness mencapai 4,4 triliun dollar AS. Meski Indonesia terlambat menggaungkan industri wisata kesehatan dibandingkan negara lainnya, namun masih ada kesempatan untuk memulainya.
Terkait wisata kesehatan di Indonesia, Pengamat dan Pelaku Health Tourism (Global Health Tourism Assistance), dr. Andry Edwin Dahlan mengatakan Singapura sudah memiliki aset wisata medis sejak 1990.
Sementara Thailand telah membuat trail untuk health tourism, yang memadukan antara medical tourism dan wellness tourism, pada akhir 1900-an. Negara tetangga Malaysia bahkan mulai mengemas paket-paket wisata medis sejak menggaungkan jargon Malaysia Truly Asia pada 2007.
“Indonesia ini agak telat, namun kita itu selalu menjadi sasaran market dari negara-negara destinasi medical tourism,” ujarnya kepada Bernas.id.
Dia berharap dengan kehadiran RS Internasional Bali ini bisa menghasilkan transfer knowledge kepada tenaga kerja dalam negeri, mengingat RS tersebut terwujud berkat kerja sama dari Mayo Clinic asal Amerika Serikat.
Menurut Andry, Mayo Clinic punya keunggulan di bidang klinik riset dan pusat kanker, medical check up, serta memiliki keunggulan teknologi sehingga memberikan nuansa baru bagi medis di Indonesia.
“Biasanya mereka yang ingin wisata kesehatan, yang biasanya melakukan medical check up itu, mereka dalam kondisi bugar dan sehat kemudian minta di-bundling pariwisata,” katanya.
“Bundling ini yang diharapkan healthcare, sehingga membangun di satu kawasan yang bisa dilakukan tren health tourism secara holistik,” imbuhnya.
Pandemi Covid-19 memang membuat ekonomi dunia menurun, termasuk memukul industri pariwisata. Namun, Andry menilai ada yang bisa dilakukan saat ini untuk memajukan pariwisata Indonesia, yang dibalut dengan wisata medis dan wisata kebugaran.
Dia mengatakan, otoritas wisata medis Thailand saat ini sedang memanfaatkan waktu untuk mempersiapkan wisata kesehatan mulai dari sumber daya manusia, riset tren, dan bundling paket trail wellness tourism.
“Nah, ini yang saya rasa kita harus memanfaatkan momen ini. Menurut penelitian dari McKinsey, pada 2024 baru seutuhnya wisata dunia itu sepenuhnya bangkit,” ucapnya.
“Jadi kita sebenarnya masih punya waktu sekitar 2 tahunan lagi untuk prepare itu. Ketika pada 2023 RS Bali International ini jadi, saya rasa mungkin teman-teman di Bali harus menangkap peluang, persiapkanlah untuk wellness tourism dan general tourism-nya agar bisa di-bundling dengan medical tourism yang ada di kawasan itu,” jelasnya.
Baca Juga: AMWI: Jamu Jadi Produk Unggulan untuk Daya Tarik Wisata Medis
Semua itu dapat terwujud apabila ada kolaborasi cantik dari setiap lini wisata kesehatan di Indonesia. Dengan demikian, Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Apalagi, Presiden Jokowi pernah mengatakan Indonesia kehilangan Rp97 triliun karena setiap tahun ada sekitar 2 juta masyarakat yang pergi ke luar negeri untuk memperoleh layanan kesehatan.
Andry menuturkan terdapat lima unsur kekuatan atau konsep pentahelix dalam menggerakkan health tourism di Indonesia. Kelima unsur itu adalah pelaku pariwisata, pelaku industri pariwisata dan kesehatan, peneliti, pemerintah, da media.
“Pemerintah memiliki keinginan kuat untuk membuat regulasinya semakin mudah terhadap usaha-usaha health tourism,” tuturnya.
“Setelah nanti ada trail wisata kesehatan yang bagus di Indonesia lakukan promosi, media exposure, ikut pameran di internasional,” imbuhnya.
Membangun Empati
Dr. Andry menceritakan pengalamannya pada awal 2006 ketika bermitra dengan sebuah layanan kesehatan di Singapura. Ada momen yang tak bisa ia lupakan yakni ketika menjadi medical assistant dalam proses evakuasi pasien menggunakan penerbangan komersial.
Kala itu, seorang bayi membutuhkan pelayanan kriteria darurat namun tidak gawat. Penanganannya bisa dilakukan di Indonesia, namun daftar tunggunya yang panjang membuat bayi itu harus diterbangkan ke negara lain.
“Saya membantu mereka dalam dua bidang pekerjaan yaitu pertama sebagai associate doctor, di mana mengharuskan saya menganalisis kasus lalu membuat conference call dengan expert di sana dan kedua sebagai flying doctor mendampingi evakuasi pasien selamat sampai ke tujuan,” jelasnya.
Baca Juga: Kisah Lan Ananda, Tokoh Taekwondo di Bali yang Menekuni Hipnosis dan Hypnosport
Selama perjalanan itu, ia sangat terbantu dengan ketenangan ibu dari bayi tersebut. Ibu itu masih muda, namun tetap tenang sehingga membuat suasana terkendali.
Ternyata, ibu tersebut mengaku sudah terdidik dan terlatih melayani sejak masa kuliah di tahun pertama sebagai mahasiswi vokasi di Swiss bidang hospitality. Ia diterjunkan langsung melayani berbagai karakter manusia dalam sebuah team work lintas budaya. Ia terbiasa memiliki mental melayani sehingga bisa memiliki ketenangan meski dalam situasi penuh tekanan.
Dari kisah ibu itu, dr. Andry memetik sebuah pelajaran bahwa membangun destinasi wisata kesehatan di Indonesia tidak hanya infrastruktur, teknologi, dan kemampuan profesi medis.
Memajukan industri wisata kesehatan juga memerlukan sikap empati dari semua unsur yang terlibat untuk memperlancar proses transfer pasien sampai menghibur mereka di kala berduka.
“Setiba di bandara team ground handling dengan empati tinggi sudah mempersiapkan ambulatory lift khusus agar pasien nyaman berpindah ke ambulance transport atau menyiapkan wheelchair tepat waktu,” katanya.
“Admission team di RS yang sudah sigap memperlancar proses hospitalisation mulai dari A&E department sampai ke ruang perawatan, asesmen dan tindakan pertama yang cepat dari tim keperawatan terutama pada pasien evakuasi yang notabene disable dengan pakaian dan peralatan medis yang tidak nyaman harus segera diganti,” jelasnya.
Dr. Andry mengaku beruntung dapat menyaksikan langsung pengalaman merasakan kegelisahan, kecemasan, dan harapan pasien medical tourist tersebut, dan melihat semua komponen pelaku health tourism bersinergi cepat dengan ritme yang sudah saling memahami.
Ia mengatakan memang ada harga tinggi yang harus dibayarkan untuk memperoleh semua kenyamanan itu. Yang terpenting adalah melatih hospitality management dalam konsep entrepreneur dan empati kepada health tourist dan semua sektor pendukung health tourism.
Baca Juga: Aplikasi Pariwisata DIY Visiting Jogja, Resmi Diluncurkan
Meski demikian, pengembangan wisata kesehatan di Negeri Singa itu bukan tanpa kendala. Ada tantangan terkait tenaga kerja yang membuat negara tersebut merekrut banyak tenaga kerja asing dari negara lain seperti Malaysia, Filipina, dan bahkan sebagian kecil dari Indonesia.
“Tantangan mereka adalah merekrut dan melatih SDM, secara warga Singapura semakin berkurang yang berminat menjadi perawat, caregiver, ambulance team dan ground handling,” katanya.
Dia berharap insan kesehatan dan pariwisata di Indonesia dapat mempersiapkan SDM unggulan, teknologi dan infrastruktur yang berorientasi pada empati pasien atau pelaku health tourist.