BANTUL, BERNAS.ID – Dalam rangka mensyukuri prestasi yang telah diraih dan menandai puncak milad ke-59, Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta menggelar wayang kulit di Kampus Utama Jalan Ahmad Yani Ringroad Selatan, Tamanan, Banguntapan, Bantul, Sabtu (18/1/2020).
UAD Yogyakarta merealisasikan tri dharma perguruan tinggi melalui penerapan budaya asli Indonesia dalam pembangunan yang berkelanjutan melalui literasi media.
Melalui pagelaran wayang kulit dengan lakon “Wisanggeni Dadi Ratu” oleh dalang Ki Seno Nugroho bersama bintang tamu Elisha Orcasus Alasso dan Sihono sebagai wujud melestarikan budaya yang menjadi tontonan dan tuntunan yang adiluhung.
Pada kesempatan itu, Rektor UAD Yogyakarta menyerahkan gunungan kepada Ki Seno Nugroho. “Semoga pagelaran wayang kulit ini bisa menjadi media dakwah serta menjadi tantangan bagi dalang untuk tetap eksis dengan kreativitasnya,” kata Muchlas.
Ke depan, kata Muchlas, UAD Yogyakarta agar lebih banyak prestasinya dan menjadi perguruan tinggi yang lebih baik lagi. “Semua harus berkomitmen untuk meningkatkan mutu layanan catur dharma Perguruan Tinggi,” jelas Muchlas.
Dalang Ki Seno Nugroho yang telah menggunakan multimedia, dipuji Rektor UAD Yogyakarta, Dr Muchlas, MT.
Karena apa? “Beberapa tahun terakhir ini Ki Seno Nugroho telah berinteraksi secara langsung lewat teknologi dengan penggemarnya,” ungkap Muchlas MT, yang menambahkan setiap pentas selalu melakukan live streaming.
Pada kesempatan itu, Dr Muchlas MT sampaikan sambutan selamat datang dalam bahasa Jawa krama inggil. “Sesuatu yang tidak mudah bagi saya, mengingat basis kultur dialek saya yang ngapak kebumenan,” kata Muchlas.
Malam itu, Muchlas sempat “dilantik” sebagai anggota PWKS (Penggemar Wayang Kulit ki Sena Nugraha) oleh GBPH Yudhaningrat selaku pembina paguyuban.
Didampingi Hartana, MPd dari PWKS, penasihat Penggemar Wayang Ki Seno Nugroho, GBPH Yudhaningrat, memberi selempang kepada Rektor UAD Dr Muchlas MT sebagai tanda anggota kehormatan dan pembina PWKS.
“Sebenarnya, diterima sebagai anggota saja sudah cukup membahagiakan bagi saya, tetapi Gusti Yudha malah menetapkan saya menjadi pembina PWKS,” kata Muchlas, yang menambahkan hal itu sebuah kehormatan yang luar biasa.
Dijelaskan Yudhaningrat, sebanyak 46.477 orang anak muda yang milenial dan mencintai wayang kulit dari Indonesia dan mancanegara sudah tergabung dalam komunitas PWKS dengan tagline nyawiji ing budaya mrih kuncaraning bangsa.
Bagi Yudhaningrat, PWKS menjadi penyemangat bagi penggemar wayang kulit dari kalangan anak muda.
Bambang Wisanggeni menjadi raja di Dandang Mangore, kerajaannya Bathari Durga atau Dewi Perwoni bergelar Prabu Dahana Murti. Sedangkan Ontoseno menjadi patih merangkap jabatan apa saja.
Bambang Wisanggeni adalah anak dari Arjuna, sedangkan Ontoseno adalah anak dari Bima.
Alkisah, Bambang Wisanggeni ingin meminjam dampar kencana kerajaan Hastinapura. Dia bersama Ontoseno menyampaikan secarik surat untuk menyampaikan maksud tersebut. Tetapi maksud tersebut ditolak oleh Raja Hastina Duryudana. Karena aneh, kedudukan dan jabatan ingin dipinjam.
Pandita Durna bersama Patih Sengkuni berusaha membuat tipu muslihat agar Bambang Wisanggeni tidak bisa mewujudkan keinginannya. Maka terjadilah perang. Dua satria itu maju berdua melawan para kurawa.
Cerita menjadi menarik ketika Raja Hastina bersama Pandita Durna lari tunggang langgang karena tidak kuat melawan dua satria tadi. Ada dialog: “sekarang kerajaan sudah kosong, rajanya juga sudah pergi, sudah sana kamu duduk di singgasana,” demikian kata Ontoseno.
“Tidak kakang, saya ingin duduk di singgasana Hastina kalau diberikan ijin oleh yang punya singgasana,” ini kata Wisanggeni.
Sebuah dialog menarik tentang pentingnya lilah (ijin dan restu) dari yang berhak untuk diminta sesuatu. Tidak serta-merta memaksakan kehendak.
Kisah ini berlanjut ketika dua satria itu mengejar Raja Hastina yang ingin minta bantuan ke Bethari Durga. Dua satria berubah pikiran karena Bethari Durga kalah dan meninggalkan kerajaan. Wisanggeni ingin menjadi raja di kerajaannya Bethari Durga.
Ini adalah sepotong kisah seru yang dipentaskan Ki Seno Nugroho.
Melakonkan Wisanggeni Dadi Ratu, Ki Seno Nugroho meramu menjadi tontonan dan tuntunan yang adiluhung, penuh dengan makna dan bertabur falsafah edipeni budaya Jawa.
Ki Seno selalu menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat dalam setiap pagelaran wayang kulit.
Sampai dinihari penikmat seni wayang kulit ini tumpah ruah jadi satu di halaman parkir Kampus Utama UAD Yogyakarta. Tidak beringsut sedikitpun. Seolah tersihir dalam alur cerita yang seru, tetapi sangat menarik. Ini adalah pesta lokal yang memberikan suguhan seni adiluhung. (fan)