Oleh: Dokter Dito Anurogo, M.Sc., Ph.D.
BERNAS.ID – Pengambilan darah untuk pembuatan Platelet-Rich Plasma (PRP) dimulai dengan langkah yang tampak sederhana namun sebenarnya memerlukan kontrol ketat terhadap banyak variabel, agar trombosit (platelet) yang didapatkan tetap memiliki aktivitas biologis optimal.
Darah diambil dari vena perifer pasien menggunakan jarum steril dan tabung vakutainer yang berisi ACD (Acid Citrate Dextrose) atau antikoagulan lain (misalnya CPDA, citrate phosphate dextrose adenine), yang berfungsi untuk mencegah terjadinya koagulasi (pembekuan) saat proses berlangsung. Volume darah yang diambil biasanya berkisar antara 10 hingga 60 mL, dan
rentang ini sangat bergantung pada kebutuhan klinis serta prosedur yang akan dilakukan.
Semakin besar volume darah yang diambil, semakin tinggi pula potensi jumlah PRP yang dapat dihasilkan, tetapi juga memerlukan durasi sentrifugasi lebih lama dan penyesuaian kecepatan yang tepat. Antikoagulan sangat penting karena jika terjadi pembekuan prematur, trombosit akan mengaktifkan dirinya sendiri sebelum dipisahkan, sehingga melepaskan growth factors (faktor-faktor pertumbuhan) di luar sasaran dan mengurangi efikasi PRP nantinya.
Baca Juga : Jebakan Pasien Cuci Darah
Maka dari itu, teknisi laboratorium atau tenaga medis yang bertanggung jawab memastikan bahwa proses venipuncture (pengambilan sampel vena) dilakukan dengan teknik aseptik yang ketat, posisi lengan optimal, dan tekanan garrot yang tidak terlalu lama untuk menghindari hemolisis (pecahnya sel darah merah) yang dapat memengaruhi kualitas PRP.
Sentrifugasi menjadi kunci dalam memisahkan komponen darah berdasarkan densitasnya, di
mana teknik yang dipilih—single spin atau double spin—sangat menentukan kadar trombosit akhir dalam PRP. Pada teknik single spin, darah umumnya diputar pada kecepatan sedang, misalnya 1.500 x g selama 5–8 menit. Kecepatan ini cukup untuk memisahkan plasma kaya trombosit di lapisan atas, buffy coat (lapisan antarmuka yang mengandung trombosit dan leukosit) di tengah, serta eritrosit (sel darah merah) di lapisan bawah.
Metode ini menghasilkan PRP dengan konsentrasi trombosit yang relatif moderat, sehingga cocok untuk indikasi tertentu
yang tidak memerlukan konsentrasi trombosit sangat tinggi. Namun, jika dibutuhkan
peningkatan jumlah trombosit secara signifikan, teknik double spin dapat diterapkan.
Dalam metode ini, darah mula-mula diputar pada kecepatan lebih rendah untuk memisahkan plasma dan buffy coat dari eritrosit. Lapisan plasma yang diperoleh, yang mengandung trombosit, kemudian diputar kembali pada kecepatan lebih tinggi.
Tujuan dari langkah kedua ini adalah untuk memekatkan trombosit secara lebih intens sehingga didapatkan PRP dengan kandungan
trombosit berlipat ganda dibandingkan teknik single spin.
Pemilihan kecepatan sentrifugasi dan durasi harus dilakukan dengan hati-hati karena jika terlalu tinggi atau terlalu lama, trombosit dapat mengalami kerusakan mekanis, yang nantinya menurunkan kualitas PRP.
Begitu pula, jika kecepatan dan waktu terlalu rendah, pemisahan tidak terjadi secara efisien, meninggalkan banyak trombosit di lapisan lain.
Setelah proses sentrifugasi selesai, langkah pemindahan fraksi plasma kaya trombosit
dilakukan. Bagian ini mungkin tampak sederhana tetapi sebenarnya rentan terhadap
kontaminasi lapisan lain, seperti plasma bebas trombosit (platelet-poor plasma) yang biasanya
berada di lapisan atas atau bahkan sel darah merah yang berada di lapisan paling bawah.
Penggunaan pipet atau jarum suntik steril secara perlahan sangat krusial di sini. Operator
umumnya diajarkan untuk memisahkan PRP dari buffy coat dengan menandai batas antarmuka agar tidak terambil sel darah merah yang dapat menurunkan kualitas PRP.
Selain itu, sebagian klinisi atau peneliti lebih memilih membiarkan sedikit volume plasma ekstra terambil bersama PRP demi menjaga viabilitas trombosit, meskipun hal ini dapat mengurangi konsentrasi trombosit secara keseluruhan.
Pada tahap inilah dapat ditambahkan aktivator seperti kalsium klorida (CaCl₂), yang akan merangsang degranulasi trombosit sehingga melepaskan growth factors seperti PDGF (Platelet-Derived Growth Factor), TGF-β (Transforming Growth Factor Beta), dan VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) ke dalam lingkungan sekitar.
Baca Juga : Comprehensive Cancer Center RS PKU Muhammadiyah Terfokus untuk Pasien Kanker
Alternatif lain adalah penambahan trombin, yang berfungsi memicu pembentukan gel fibrin agar PRP lebih mudah diaplikasikan pada area target, misalnya pada cedera tendon atau jaringan lunak.
Metode ini acap kali diterapkan pada prosedur bedah ortopedi atau kedokteran olahraga untuk membantu perbaikan jaringan secara lebih terarah.
Dalam pelaksanaannya, pembuatan PRP juga memerlukan dukungan peralatan khusus. Tabung vakutainer yang mengandung antikoagulan diseleksi berdasarkan stabilitas antikoagulan dan kestabilan trombosit; misalnya, ACD dinilai sangat efektif untuk menjaga morfologi dan fungsi trombosit selama waktu yang cukup lama.
Centrifuge yang digunakan sebaiknya adalah centrifuge khusus PRP, sering kali memiliki program preset untuk mengoptimalkan kecepatan, durasi, dan akselerasi penurunan atau peningkatan kecepatan (ramp speed), sehingga meminimalkan risiko guncangan pada trombosit.
Penggunaan jarum suntik steril pun tak kalah
penting untuk memindahkan fraksi PRP, karena setiap kontaminasi bakteri atau sisa sel yang
tidak diinginkan dapat memicu inflamasi atau penurunan efektivitas PRP.
Terakhir, aktivator PRP seperti kalsium klorida maupun trombin harus disiapkan dalam konsentrasi yang tepat untuk mengefektifkan pelepasan growth factors, dengan tetap menjaga kesesuaian pH (derajat keasaman) dan osmolaritas larutan agar trombosit tidak mengalami kerusakan.
Semua prosedur tersebut dilakukan di bawah standar aseptik yang ketat, menjadikan pembuatan PRP sebagai sebuah rangkaian proses yang detail, kompleks, dan menuntut presisi tinggi, dengan tujuan akhir menghasilkan sediaan PRP yang aman dan efektif bagi keperluan klinis maupun riset dalam bidang regenerative medicine.
[Dokter Dito Anurogo MSc PhD, anggota divisi
kerjasama MABBI (Masyarakat Bioinformatika dan Biodiversitas Indonesia, https://mabbi.id), alumnus IPCTRM College of Medicine Taipei Medical University Taiwan, dosen FKIK Unismuh Makassar, trainer profesional ESAS Management berlisensi BNSP, reviewer puluhan jurnal nasional dan internasional terindeks Scopus, penulis puluhan buku berlisensi BNSP, publikasinya dapat diakses di https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=dito+anurogo]