BERNAS.ID – Saat ini banyak sekali wacana over tourism yang dikaitkan dengan dampak negatif dari kepariwisataan. Definisi over tourism dapat digambarkan sebagai suatu kondisi dimana jumlah wisatawan yang berkunjung ke suatu destinasi melebih dari batas kemampuan daya tampung yang dimiliki.
Sekilas ini dapat dimaknai bahwa destinasi pariwisata itu sangat diminati oleh wisatawan. Mungkin karena adanya ikon yang unggul dimiliki oleh destinasi seperti tempat bersejarah, pemandangan yang spektakuler maupun trend kekinian yaitu gaya hidup berwisata yang disediakan di destinasi.
Alasan yang terakhir ini dapat menjadi alasan utama cepatnya muncul kondisi over tourism.
Jika kondisi tersebut tidak diantisipasi dan cepat tertangani secara strategis maka dampak yang dapat ditimbulkan diantaranya :
Baca Juga : Inilah Jumlah Turis Asing yang Naik Kereta Api di Stasiun Yogyakarta
1) Ketidaknyamanan wisatawan di destinasi akibat kemacetan lalu lintas, polusi udara, timbunan sampah dan lainnya.
2) Gesekan sosial antar masyarakat akibat ketidaknyamanan suasana lingkungan yang padat, kegaduhan dan lainnya.
3) Kerusakan lingkungan karena kepadatan aktifitas, menurunnya kepedulian sosial dan lainnya dan penggunaan sumber daya alam yang tak terkontrol.
4) Menurunnya kualitas destinasi karena kesempatan perawatan dan perbaikan tidak terlaksana akibat fokus pada pengelolaan operasional yang konvensional dan pelayanan wisatawan yang banyak.
5) Ancaman degradasi budaya dan tradisi karena heterogensi aktifitas dan demografis di tengah persaingan meraih peluang usaha/bisnis.
Secara tata kelola destinasi, dengan keterlibatan pihak terkait (pemerintah, pelaku usaha, masyarakat), maka penyebab over tourism semakin masif terjadi akibat :
1) Tata ruang wilayah yang tidak dijalankan dengan baik dalam prakteknya sehingga investor merasa bebas untuk membangun usaha.
2) Penegakan hukum yang masih rendah baik dalam penertiban di lapangan, menindaklanjuti pelanggaran maupun pengeluaran ijin usaha bagi yang tidak layak sesuai peraturan yang berlaku.
3) Master plan pengembangan kawasan wisata yang tidak ada, atau jika ada namun tidak terimplementasi dengan baik.
4) Pemenuhan standar penyelenggaraan usaha pariwisata yang tidak optimal dilakukan pengusaha dengan dalih fokus pada keuntungan perusahaan.
5) Kesadaran masyarakat tentang kepariwisataan masih rendah, hanya fokus pada pendapatan instan di tengah ramainya wisatawan. Contohnya: menyewakan atau menjual lahan karena peminat dari kalangan investor cukup tinggi.
Harus diupayakan suatu tindakan konkrit dalam mengantisipasi dan menjadikan solusi bagi destinasi yang mengalami hal-hal tersebut di atas. Agar destinasi tidak terlanjur rusak dan menjadi dampak buruk berkepanjangan nantinya.
Jika demikian maka yang rugi adalah masyarakat sendiri sulit untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan. Demikian juga kehilangan kesempatan untuk PAD kabupaten/kota.
Berikut ini beberapa masukan sebagai exit and win strategy untuk antisipasi dan penanganan over tourism di destinasi pariwisata :
1) Mengkaji ulang kawasan destinasi dengan tata kelola yang lebih baik dan terintegrasi. Meliputi zonasi peruntukannya, flow access sesuai kepadatan pengunjung, penyediaan lahan parkir kendaraan yang cukup dan sebagainya.
2) Pemerataan pembangunan destinasi di wilayah lainnya dengan fasilitas yang menarik, infrastruktur yang memadai dan kualitas bagus dalam satu daerah untuk mengurai konsentrasi wisatawan di satu destinasi tertentu.
3) Menertibkan usaha pariwisata yang melanggar ketentuan berlaku (penginapan, restoran, bar, hiburan, spa, rental bike and car dan lainnya).
4) Merevitalisasi kelompok sadar wisata (pokdarwis) di destinasi pariwisata yang selama ini fokusnya hanya ada pada desa wisata, bukan pada destinasi secara keseluruhan.
5) Mensosialisasikan ‘Dos and Donts’ atau kode etik wisata melalui berbagai saluran / media seperti spanduk/baliho, tourist information center, media sosial dan lainnya.
6) Regenerative tourism; Mengkurasi ikon wisata sesuai keaslian dan nilai luhurnya menjadi sebuah literasi terkait sejarah, nilai, tradisi dan hal penting terkait lainnya. Tujuannya adalah untuk membangun kesadaran pengunjung untuk menghormati destinasi dengan keluhuran nilai yang dimiliki (responsible traveler).
7) Peningkatan sinergitas unsur-unsur Pentahelic Pariwisata dalam mengupayakan pariwisata yang berkelanjutan melalui :
– Pemerintah : penegakan hukum, pembinaan dan pemerataan pembangunan.
Baca Juga : Tingkatkan Lama Tinggal Wisatawan Mancanegara di Yogyakarta, Kadin DIY Bidang Pariwisata Menggelar FGD
– Bisnis/Usaha : tertib perijinan, pemenuhan standar penyelenggaraan usaha, mengedukasi wisatawan yang menjadi pelanggannya, mempromosikan keunggulan budaya, alam, tradisi dan nilai kearifan lokal dalam menjalankan usahanya, mengatur pola perjalanan/kunjungan wisatawan.
– Akademisi : penelitian dan rekomendasi untuk peningkatan kualitas destinasi, pelatihan kepariwisataan yang relevan dan mencetak SDM yang berkarakter budaya selain pemenuhan kompetensinya.
– Komunitas : menertibkan anggotanya terkait standarisasi, mensosialisasikan upaya menjaga kualitas destinasi dan berkontribusi aktif dalam menjaga destinasi secara kolektif dan bertumbuh secara inklusif.
– Media : mempromosikan keunggulan destinasi, merekomendasikan pola perjalanan wisatawan, mensosialisasikan sadar wisata dan sapta pesona dan lainnya.
Sebagai destinasi yang sangat diminati sehingga kunjungan wisatawan sangat tinggi bahkan tidak terkontrol, sudah saatnya semua pihak terkait di destinasi pariwisata mempertimbangkan aspek carrying capacity dan destination master plan demi pengembangan pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan.
(Penulis: Ketut Swabawa | Praktisi Pariwisata)