KAPUAS HULU, HarianBernas.com – Suara Lonceng yang berdentang memecah kesunyian malam dusun Sui Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, pada Rabu malam (24/12). Malam itu, umat Katolik merayakan hari kelahiran Yesus Kristus di tengah masa pantang.
Satu persatu umat Katolik keluar dari rumah adat Suku Dayak yang disebut Rumah Betang menuju gereja sambil membawa lampu.
Titik-titik cahaya lampu yang bergerak beriringan tampak indah di tengah malam. Perayaan natal kali ini dirayakan dalam keheningan.
Warga Sui Utik yang hampir seluruhnya keturunan suku dayak Iban itu sedang menjalani pantangan karena pada Sabtu (20/12) lalu, salah seorang warga meninggal dunia. Dalam masa pantang tersebut, selama sepekan mereka tidak akan menimbulkan bunyi, menyanyikan lagu ataupun menyalakan musik di Rumah Betang.
Satu-satunya tempat yang diijinkan untuk merayakan natal.
Gereja yang hanya berjarak 100 meter itu juga menjadi satu-satunya bangunan yang terang, dengan bantuan genset, di dusun yang belum mendapat aliran listrik tersebut.
Saat lonceng berbunyi pukul 20.15, ratusan umat telah berkumpul di dalam gereja yang terbuat dari kayu ulin itu. Dengan khusuk, perayaan kelahiran sang juru selamat dirayakan dalam hening.
Saat pemimpin ibadat, Karolus Manik Manehan, mulai memimpin perayaan, lampu tiba-tiba padam. Dalam gelap, tanpa aba-aba umat segera menyalakan lampu surya yang mereka bawa dan perayaan terus berlanjut.
Gelap memang hal yang paling akrab bagi warga Sui Utik. Namun, dalam gelap tersebut, justru menambah kekhusyukan perayaan natal. Suara jangkrik dan hewan malam, menjadi alunan musik alami yang indah.
Kehidupan sederhana
Agama Katolik masuk ke Sui Utik sejak tahun 1975 oleh misioner Paroki Benomartinus dari Belanda. Sejak itu warga belajar agama Katolik dan mulai dibaptis pada tahun 1977. Dalam kesunyian dan kegelapan malam Natal itu, pemimpin ibadat mengingatkan bahwa cara hidup sederhana merupakan teladan dari Allah. Yesus sendiri kala itu lahir dalam kesunyian dan kegelapan.
“Yesus menyerukan pada umat manusia bahwa Dia lahir dengan amat sederhana, berbeda dengan yang kita alami,” kata Karolus yang juga dikenal sebagai guru di Sui Utik itu.
Dengan tema “Berjumpa dengan Allah dalam keluarga”, Karolus juga mengajak warga agar berbuat baik dengan orang lain, mengampuni orang yang melakukan kesalahan, dan saling memaafkan. “Maka Allah akan hadir ditengah-tengah kita,” tambahnya.
Kepala Desa Batu Lintang Raymanus Remang yang juga tinggal di Rumah Betang Dusun Sui Utik mengatakan pantangan menambah kesederhanaan natal di Sui Utik.
Cahaya Natal Sui Utik
Lampu surya merupakan lampu kecil bertenaga surya pemberian pemerintah yang biasa mereka jemur setiap siang. Lampu yang menjadi sumber penerangan mereka.
Cahaya Natal bagi warga Sui Utik memang bukan dari pohon-pohon Natal yang berkedip-kedip cantik di tiap rumah umat kristiani pada umumnya.
Hanya ada satu-satunya pohon Natal yang menghiasi gereja di dusun mereka.
Di Rumah Betang, sepanjang 216 meter dengan 28 pintu, 299 warga tidak mengenal natal yang demikian. Karena perjuangan mereka untuk mendapatkan listrik masih harus dilanjutkan.
Sampai saat ini, warga Sui Utik masih berupaya mendapatkan akses listrik yang telah bertahun-tahun mereka perjuangkan.
Berjarak 70 km dari perbatasan dengan Malaysia, Sui Utik menjadi satu-satunya dusun yang belum mendapatkan akses listrik diantara dusun lainnya di Kabupaten Kapuas Hulu.
Sehingga terang pun menjadi harapan utama yang ada dalam setiap benak warga Sui Utik dalam doa natal. Karena bagaimanapun, mereka sudah terlalu lelah untuk hidup bersama gelap.
Untuk merayakan natal, umat harus menyiapkan 8 liter solar agar gereja mendapat penerangan semalam.
Suara genset yang menderu-deru, bahkan terdengar nyaring dari Rumah Betang.