YOGYAKARTA, BERNAS.ID – Ketika membayangkan kuliah di Eropa, yang muncul di benak banyak orang pasti hanya hal-hal yang membahagiakan saja. Faktanya, hidup di negara asing tak seindah yang dibayangkan banyak orang.
Ada proses dan perjuangan panjang yang harus ditempuh sata hidup di negara lain, terutama negara yang berbeda budaya dan bahasanya.
Hal itu pula yang dirasakan oleh Rungu Puput Herlambang. Pria asal Surabaya yang berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi magister di negara Perancis itu juga mengalami berbagai kisah suka dan duka saat mulai menginjakan kakinya di tanah Eropa.
Setelah berhasil meraih beasiswa ke Perancis, Rungu pun memantapkan hatinya ke kota La Rochelle sebagai tujuannya untuk melanjutkan jenjang magister.
Kota yang terletak di pesisir barat Prancis dan bersebelahan langsung dengan Samudra Arktik itu menjadi saksi bagaimana perjalanan Rungu menaklukan Perancis.
Baca juga: Kisah Rungu: Berawal dari Passion hingga Tiket ke Perancis (Bagian 1)
Bermula dari La Rochelle
Dengan berbagai pertimbangan matang, Rungu akhirnya memilih Universitas La Rochelle jurusan Bahasa asing terapan dengan spesialisasi bisnis internasional kawasan Asia Pasifik.
La Rochelle berdiri pada 1993 dan tergolong universitas baru di Perancis. Universitas tersebut juga banyak menjalin kerja sama dengan berbagai kampus yang ada di Indonesia, seperti Universitas Pendidikan Indonesia, Institut Teknologi Surabaya, dan Universitas Sebelas Maret.
“Secara umum, jurusan yang saya pilih itu mempelajari itu tentang penerapan bahasa asing dalam dunia bisnis internasional,” ucap Rungu kepada Bernas.id, Rabu (2/6).
Rungu mengaku tertarik berkuliah di kota La Rochelle karena biaya hidupnya yang relatif lebih murah daripada kota seperti Paris.
“Saya sebenarnya diterima di tiga kota, tapi saya memilih La Rochelle karena punya jaringan persatuan pelajar Indonesia (PPI) yang kuat. Jadi, saya bisa tahu ketika baru memulai hidup di Perancis ada orang-orang yang bisa saya kenal dan minta bantuan,” ungkap dia.
Menurut cerita Rungu, hidup di kota besar seperti Paris biaya hidupnya sangat tinggi. Misalnya, biaya sewa apartemen di Paris rata-rata 800 euro per bulan sedangkan di kota lain harga sewa apartemen 400 euro sudah tergolong mahal.
“Jadi, bisa dibayangkan kenaikan harganya bisa dua hingga tiga kali lipat. Itu masih belum terhitung biaya hidup bulanannya,” ucapnya.
Selain biaya hidup yang relatif murah, program dan kurikulum yang ditawarkan memiliki program yang dianggap paling menarik bagi Rungu.
“Dari tiga universitas yang menerima saya, hanya La Rochelle yang memiliki kurikulum dan program yang cocok dengan apa yang saya inginkan,” tambahnya.
Risiko depresi musiman
Tinggal di negara dengan budaya dan bahasa yang berbeda tentu tidak mudah. Apalagi, Perancis memiliki empat musim. Tentunya, hal tersebut juga memerlukan proses adaptasi fisik dan psikis yang sangat besar.
Sebagai negara dengan empat musim, tinggal di negara seperti Perancis rawan sekali menyebabkan depresi musiman, terutama saat musim dingin tiba.
Intensitas cahaya matahari yang kurang serta dinginnya cuaca secara tak langsung turut mempengaruhi kondisi mental.
Selain itu, Indonesia dan Perancis juga memiliki perbedaan waktu yang signifikan. Hal tersebut seringkali bisa menimbulkan jetlag.
“Lucunya, saat pertama tiba di Perancis saya malah nggak mengalami jetlag karena jam tidur saya di Indonesia memang sudah berantakan. Yang sangat berpengaruh besar justru musim yang ada di Perancis,” ungkap Rungu.
Pertama kali tiba, Perancis sedang musim gugur di mana matahari terbenam sekitar jam 9 malam. Namun saat awal memulai perkuliahan, Perancis memasuki musim dingin di mana matahari terbenam lebih cepat.
“Saat musim dingin, matahari itu baru terbit jam 9 pagi dan terbenam sekitar jam 5 atau 6 malam. Sedangkan kita rata-rata di kampus dari jam 8 pagi sampai jam 6 malam. Jadi, kita sama sekali tidak melihat cahaya matahari. Dari sini saya bisa memahami mengapa ada orang yang mengalami depresi musiman,” ucapnya.
Melansir data Psychology Today, depresi musiman atau Seasonal Affective Disorder adalah jenis gangguan depresi mayor berulang di mana episode depresi terjadi selama musim yang sama setiap tahun.
Kondisi ini biasanya kerap dialami oleh orang-orang yang tinggal di negara empat musim. Episode depresi juga sering terjadi pada musim dingin dan akan hilang saat musim semi tiba.
Menurut Psychology Today, depresi musiman bisa dipicu karena kurangnya paparan matahari yang memicu produksi hormon melatonin.
Peningkatan hormon melatonin akan membuat seseorang cenderung merasa lebih mengantuk dan lesu. Hal ini juga membuat seseorang kesulitan mengatur kadar serotonin, neurotransmitter yang mempengaruhi suasana hati. Gejala depresi musiman bisa berupa:
- Perasaan putus asa dan sedih
- Pikiran untuk bunuh diri
- Hipersomnia atau kecenderungan untuk tidur berlebihan
- Perubahan nafsu makan, terutama keinginan untuk makanan manis atau bertepung
- Penambahan berat badan
- Perasaan berat di lengan atau kaki
- Penurunan tingkat energi
- Aktivitas fisik berkurang
- Kelelahan
- Sulit berkonsentrasi
- Mudah marah
- Nafsu makan buruk
- Penurunan berat badan
- Insomnia
- Agitasi dan kecemasan.
Baca juga: Ingin Kuliah di Prancis? Ini Berbagai Beasiswa yang Bisa Kalian Coba
Bagaimana mengatasinya?
Menurut cerita Rungu, mahasiswa yang mengalami depresi musiman di Perancis biasanya akan diberikan pendampingan khusus dari psikolog atau psikiater.
Metode pengobatan tersebut juga serupa dengan cara pengobatan yang tercantum dalam literatur Psychology Today.
Selain itu, dijelaskan bahwa perawatan untuk meringankan gejala depresi biasanya mencakup beberapa kombinasi terapi cahaya, pemberian suplemen vitamin D, obat antidepresan, dan konseling.
“Untungnya saya nggak pernah mengalami depresi musiman selama di Perancis. Namun, banyak teman saya yang mengalaminya. Mereka bisa mengalami depresi karena kan seharian di kampus nggak bisa melihat sinar matahari sama sekali. Waktu terasa berlalu begitu cepat,” ucapnya.
Waktu yang terasa berlalu begitu cepat, ujar Rungu, membuat banyak teman-temannya merasa seolah-olah kehilangan banyak waktu dan belum melakukan apapun.
Tak ayal, hal tersebut membuat mereka terjebak dalam penyesalan dan perasaan tidak berguna.
“Untuk mahasiswa yang mengalami depresi musiman, biasanya ada pendampingan dari psikolog atau psikiater. Nanti ada konsultasi. Mereka juga dianjurkan untuk ikut terapi dan meditasi. Biasanya, mereka juga diberikan obat-obatan khusus seperti antidepresan,” ungkap Rungu.
Depresi musiman tentu bisa menjadi hal berat, terutama jika dialami oleh mahasiswa yang jauh dari kampung halaman. Pelajar juga disarankan untuk mengunjungi fasilitas kesehatan yang disediakan oleh kampus jika memang merasakan gejala depresi .
Depresi musiman yang dibiarkan begitu saja bisa mempengaruhi proses studi. Kabar buruknya lagi, depresi musiman ini juga bisa memicu pikiran bunuh diri.
Karena itu, pelajar Indonesia yang hendak melanjutkan studi di negara empat musim seperti Perancis harus memperbanyak informasi mengenai hal tersebut.
Kita juga bisa mencegah terjadinya depresi musiman dengan menerapkan antisipasi seperti berikut:
- Pantau suasana hati dan tingkat energi
- Memanfaatkan sinar matahari yang tersedia
- Rencanakan kegiatan yang menyenangkan untuk musim dingin
- Rencanakan aktivitas fisik
- Mempertahankan jadwal tidur yang teratur