BERNAS.ID – Ketika mendengar kata 'coach', mungkin sebagian dari kita berpikir tentang pelatih olahraga. Tidak salah memang, tapi di dunia profesional kerja, kata tersebut juga dipakai bagi mereka yang membimbing seseorang menggali potensi diri.
Seorang perempuan asal Lembang, Bandung Utara, tak pernah menyangka jika suatu saat dia bakal menjadi coach. Dia adalah Lidia Rusvita, yang tercatat sebagai coach di International Coach Federation (ICF).
Sejak kecil, ia suka menolong orang lain, terlebih saat membantu turis asing yang tersesat. Ternyata, semangat untuk membantu terus menyala hingga dia menemukan pekerjaan yang tepat bagi dirinya.
Bagaimana kisah perjalanan karier Lidia hingga menjadi seorang coach? Berikut selengkapnya.
Bahagia Membantu Sesama
Kepada Bernas.id, Lidia mengaku tumbuh sebagai anak yang suka berpetualang. Ia lahir di kota kecil Lembang, yang dikunjungi banyak wisatawan dari mancanegara.
Baca Juga: Kisah Karatyaning Lintang, Berawal dari Pendengar yang Baik hingga Coach untuk Future Leader
Ketika SMP, Lidia sering ke pasar tradisional untuk membantu sang nenek berbelanja. Dengan mengayuh sepeda, dia pergi ke pasar. Di sana, terdapat terminal dengan banyak transportasi umum menuju objek wisata Tangkuban Perahu. Melihat banyak turis yang kebingungan di terminal, ia memberanikan diri untuk menawarkan bantuan.
“Banyak wisatawan terbantu dengan saya yang seorang anak SMP kelas 2, bincang-bincang dengan mereka, membantu mereka hingga bisa ke Tangkuban Perahu saat itu bagaimana caranya,” ujarnya.
Kemampuan bahasa Inggrisnya diperoleh dari pelajaran di sekolah. Di samping itu, sang ayah, yang merupakan seorang akuntan, kerap bekerja dengan perusahaan dari Amerika Serikat untuk proyek-proyek konstruksi.
Kakeknya pun juga sempat bekerja menjadi chief security di Kedutaan Besar AS. Dari situlah, Lidia mendapat ketertarikan untuk berkomunikasi dengan bahasa asing.
“Kebetulan yang terekspos adalah bahasa Inggris karena dapat di sekolah, bahkan dengan cuma-cuma dan nggak harus datang ke kursus,” ucapnya.
Lidia mengaku sebagai seseorang yang berupaya memaksimalkan apa yang ia dapatkan, berusaha untuk menikmatinya, hingga akhirnya bisa mendapatkan nilai terbaik dalam pelajaran bahasa Inggris.
Bila sebagian anak mungkin malu-malu untuk mempraktikkan bahasa Inggris, namun tidaklah bagi Lidia. Rasa penasaran akan kemampuannya, ia memutuskan untuk berbicara langsung dengan para turis. Tapi yang terpenting untuk Lidia adalah membantu orang lain yang kesulitan atau sedang menghadapi tantangan. Ia mengaku ada perasaan bahagia setelah membantu orang lain.
“Hati saya seperti mengembang besar, senang, apalagi ketika mendapatkan wajah-wajah wisatawan yang awalnya bingung, tapi akhirnya mereka senang bisa ke Tangkuban Perahu,” katanya.
Bahkan, ada beberapa wisatawan yang masih berkomunikasi dengan Lidia melalui surat selama 4-5 tahun.
“Ketika saya dapat surat dari pak pos, senang sekali, ternyata itu wisatawan yang sempat saya bantu, dan kami berteman lama hingga saya mau masuk kuliah,” ucapnya.
Suka Beres-beres
Lidia menempuh pendidikan di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Kota Bandung, Jawa Barat, dengan mengambil jurusan linguistik terapan. Pada 1988, dia terpilih dari seleksi yang ketat untuk mewakili Jawa Barat dalam Port Hope Center for Individual Studi di Ontario, Kanada.
Bertemu dengan teman-teman dari berbagai provinsi di Indonesia dan Kanada, ia mencoba merefleksikan apa yang harus ia dapatkan ketika berada di negara lain.
“Di sana saya lebih banyak self-aware. Saya harus memiliki awareness pada diri sendiri lebih tinggi. Ini kan rumah orang lain yang rela menyiapkan shelter untuk saya,” katanya.
“Program kurang lebih setahun ini, saya lebih banyak mengasah diri dari sisi emosional, toleransi, mengerti orang lain, mereka juga demikian. jadi imbal baliknya sama,” imbuhnya.
Baca Juga: Kisah Prasetio Erlimus, Sukses Bisnis Digital Melalui Compro
Setelah lulus pada 1990, meski belum wisuda, ia menerima 'pinangan' untuk bekerja di salah satu perusahaan konstruksi di Cilegon. Di sana, ia berkenalan dengan pekerjaan administrasi yang mengurusi banyak hal, termasuk personalia. Ia mengaku dapat menyesuaikan diri dan belajar dengan cepat.
Dari situ, Lidia menyadari dirinya merupakan tipe orang yang sangat administratif. Dia menyebut dirinya sebagai orang yang suka beres-beres.
“Saya tipikalnya memang administratif, senang beres-beres, suka merapikan. Ada pola-pola berantakan, saya rapikan,” ujarnya.
Kemudian, dia bekerja di Canadian International Development Agency yang mengatur orang-orang untuk mengikuti perkuliah singkat di Kanada. Lidia menangani bagian rekrutmen dan berkesempatan untuk keliling Indonesia, serta bertemu dengan para pimpinan di institusi pemerintah.
Jatuh Cinta dengan Coaching
Lidia biasanya selalu berfokus mengurusi orang lain, ya, karena ia meniti karier di bidang human resource di berbagai perusahaan ternama di Tanah Air. Namun pada akhirnya, dia menyadari selama ini kurang perhatian dengan diri sendiri.
Selama 15 tahun berkarier, dia lupa bahwa dirinya juga perlu bertumbuh. Hingga suatu saat, dia mulai tertarik dengan dunia coaching.
“Ketertarikan pada coaching dalam kapasitas saya HR, sebenarnya saya sudah melakukan itu selama peran saya menjadi HR. Jadi bagaimana stakeholder, customer, seluruh karyawan dari eksekutif hingga staf pabrik, bisa dekat dengan saya,” jelasnya.
Dia suka berbincang dengan karyawan lain bukan untuk menggurui, melainkan memunculkan potensi terbaik dari individu tersebut baik untuk diri maupun profesi karyawan itu.
Berbicara dengan karyawan berarti menemani mereka bereksplorasi, menemukan opsi gagasan, solusi, hingga memutuskan apa yang terbaik.
“Saya menikmati itu, karena saya nggak mau menggurui, tapi mengurai apa yang sedang mereka hadapi, ya sama seperti yang dihadapi wisatawan pada kisah saya di Lembang,” ucapnya.
Lidia akhirnya memutuskan untuk mengikuti sertifikasi coaching. Singkat cerita, ia mulai mendalami coaching sampai berkeyakinan bahwa coaching untuk semua orang, tidak terbatas pada usia, profesi, dan sebagainya.
Ia pun memfokuskan diri pada coaching tentang perkembangan diri, termasuk karier, kehidupan, atau bagi mereka yang harus transisi menuju masa pensiun.
“Kita sebagai teman ngobrol harus netral, memandangnya bias, tidak ada judgement, dan itu sesuatu yang harus diasah, nggak bisa serta merta baca buku terus jadi,” tuturnya.
GETConsultant
Sebelum pandemi, Lidia mendirikan GETConsultant, sebuah perusahaan one stop solution yang menyediakan konsultasi terkait pengembangan organisasi dan perusahaan outsourcing untuk sumber daya manusia.
GET sendiri merupakan akronim dari Grow and Enhance Together, yang berarti tumbuh dan berkembang bersama. Ada alasan khusus mengapa Lidia memilih untuk mendirikan perusahaan ini.
Baca Juga: Kisah Issa Kumalasari Membantu Sesama Lewat NLP
“Mempekerjakan senior HR itu bujetnya nggak sedikit. Saya berpikir, kenapa saya nggak bermitra saja dengan para organisasi ini untuk let us yang expert, do their work, dan mereka fokus pada core kompetensi mereka,” ujarnya,
Dengan begitu, menurutnya, perusahaan bisa fokus pada bisnisnya, sementara untuk urusan human resource bisa diserahkan kepada GETConsultant. Saat ini, Lidia lebih sering bekerja sama dengan perusahaan asal Negeri Paman Sam yang berbasis proyek.
“Kami mencoba kapabilitas atau pengalaman, kami punya value bagi klien kami. Kami jadi mitra sehingga mereka nggak pusing mikirin HR, mulai dari seleksi, hiring, assesment, dan executive search,” ujarnya.
“Kinerjanya kita bantu mulai dari pengembangan, kompetensi, bisa berupa pelatihan, mentoring, pendekatannya melalui coaching,” imbuhnya.
Ke depan, ia berharap GETConsultant bisa berkembang menjadi tempat berkumpulnya aspirasi dan terus menggali potensi terbaik bagi individu dan kelompok.
Coaching Diri Sendiri
Memiliki segudang pengalaman di dunia coaching dan karier profesional membuat Lidia berharap agar generasi muda menjadi lebih mengenali diri. Caranya, mulai menetapkan tujuan atau cita-cita, bisa sebuah label profesi atau harapan pada diri.
Dari situ, kemudian akan diperoleh apa saja kekuatan dan kelemahan diri. Menurut Lidia, kekuatan merupakan suatu hal yang dapat dikerjakan oleh individu secara mudah dan tanpa usaha keras.
Kekuatan diri tersebut biasanya dipakai dalam berbagai situasi dan individu memperoleh manfaat. Sementara itu, kelemahan atau kekurangan diri merupakan sesuatu yang bisa dikembangkan.
“Semua orang punya potensi tapi masih ngumpet. Kesadaran diri kita hanya 10% saja, Sadar itu sesuatu yang langsung dikerjakan dan bisa. Kalau perlu usaha berarti masih di bawah kesadaran, dan itu perlu diasah,” jelasnya.
Untuk mencapai tujuan, Lidia mengatakan anak-anak muda bisa berkumpul dengan orang-orang yang sedang dan bahkan sudah mencapai keberhasilan. Namun, apabila terdapat gap yang besar, maka prosesnya tidak bisa cepat untuk mencapai itu.
“Lalu, kemampuan apa yang harus bisa saya miliki? Ya, misalnya coaching diri sendiri, dan melakukan pendekatan coaching ketika bersama orang lain,” ujarnya.
Baca Juga: Perjalanan Denny Santoso: Dari Jualan Suplemen, Jatuh Bangun Rintis Startup, dan Tuai Kesuksesan
Bagaimana untuk melakukan coaching? Menurut Lidia, itu bisa diwujudkan dengan menjaga dan mengembangkan relasi dengan orang lain tanpa menghakimi. Selain itu, kita harus mengapresiasi setiap individu dan menyadari setiap orang adalah pribadi dan unik, serta menghargai perbedaan.
“Saya ingin sekali teman-teman mengenal coaching itu sebagai perilaku, dan menjangkau semua orang. Kita mendengar kalau coaching untuk eksekutif, tapi itu sudah bukan waktunya lagi,” katanya.
“Kalau itu bisa, kita akan memiliki generasi yang open mind, menghargai perbedaan, akhirnya kita bisa bersama-sama memiliki potensi yang paling baik untuk membangun negara,” imbuhnya.