BERNAS.ID – Ketika masih kecil, hampir dari kita semua kalau ditanya soal cita-cita pasti akan menjawab “ingin menjadi dokter”. Selain itu, jawabannya bisa insiyur, pilot, dan mungkin polisi.
Namun, siapa sangka jika asa pada masa kanak-kanak itu menjadi kekuatan untuk benar-benar mewujudkannya. Dr. dr. Taufik Jamaan, SpOG, salah satunya.
Namanya kerap memenuhi halaman pemberitaan, bahkan menjadi salah satu yang direkomendasikan bagi para ibu yang mencari dokter kandungan, konsultasi kehamilan, dan bayi tabung di Jakarta.
Di media sosial, dr. Taufik kerap mengunggah postingan edukasi terkait kesehatan ibu dan anak. Kini, sosoknya muncul sebagai perintis terbentuknya Asosiasi Wisata Medis Indonesia (AWMI).
Baca Juga: Perjalanan Profesor Khairurrijal, Dari Sistelnas hingga Guru Besar ITB
Sebagai dokter spesialis kebidanan dan kandungan selama lebih dari 20 tahun, tentu dr. Taufik telah melewati banyak hal dalam merintis kariernya.
Ingin Jadi Dokter
Memang menjadi dokter adalah cita-cita dr. Taufik sejak kecil. Tapi, keinginan itu makin kuat ketika masa SMA. Pria kelahiran Padang, 27 Juni 1966 itu melihat bagaimana dokter-dokter menangani keluarganya, dan membantu orang lain untuk sembuh.
Kecintaan untuk menjadi dokter telah dia perjuangkan dari bangku SMA, yang kemudian dia rawat agar bisa diterima di perguruan tinggi. Untuk memotivasi diri, dia mengaku memasang poster besar bertuliskan “ingin jadi dokter” di kamarnya.
“Itu untuk memotivasi ujian, kalau dulu ujiannya UMPTN, akhirnya keterima di UI (Universitas Indonesia), selesai S1 lanjut S2 spesialis, S3 ambil doktor bidang kedokteran,” katanya kepada Bernas.id, Minggu (4/7/2021).
Sebagai informasi, dr. Taufik menyelesaikan pendidikan Strata 1 di Fakultas Kedokteran UI, kemudian dilanjutkan dengan S2 di universitas yang sama dengan mengambil program Obstetri dan Ginekologi (Kebidanan dan Kandungan).
Selanjutnya, dia menempuh S3 untuk menyelesaikan program pendidikan doktor di Universitas Indonesia. Namun, proses belajarnya tidak berhenti di situ, ada sejumlah kursus yang dia tempuh untuk terus mengasah kemampuan.
“Kalau jadi dokter kan sekolahnya berat, mungkin paling berat dari seluruh fakultas, belajarnya paling berat. Pendidikannya juga nggak selesai-selesau, saya saja 20 tahun sekolahnya,” tuturnya.
Baca Juga: Kisah Hidup Pemilik TX Travel Anton Thedy, Tukang Jalan-jalan Sejak SD
“S1 selama 6 tahun, spesialis 4 tahun, doktor 4 tahun, tambah kursus seperti bayi tabung dan segala macam, memang dokter itu pendidikan sepanjang hayat,” imbuhnya.
Bertugas di perbatasan
Bagi dr. Taufik, Sungai Rumbai merupakan daerah yang tidak akan terlupakan. Sungai Rumpai merupakan wilayah perbatasan yang terletak di Kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat.
Pengabdian di daerah terpencil itu membuatnya menyadari pentingnya kesehatan ibu dan anak. Setiap hari, dia menangani kasus yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan.
Banyak pasiennya yang tinggal di rumah yang kumuh. Tapi itu bukan halangan untuk tetap melayani orang-orang yang membutuhkan pertolongan.
“Hal itu membuat saya makin terpacu di bidang kebidanan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat,” ujarnya.
“Saat ini kan penduduk kita besar, jadi dengan mengatur kesehatan ibu dan anak maka negara akan menjadi kuat,” imbuhnya.
Dinas di wilayah perbatasan Sumatra Barat dan Jambi itu juga membuahkan pengalaman unik. Banyak penduduk yang tidak punya uang sehingga mereka membayar dengan hewan ternak seperti ayam, kadang juga diberi buah-buahan.
Belum lagi jika harus menolong pasien ketika tengah malam. Tidak ada listrik sehingga dr. Taufik harus memakai senter sebagai sumber penerangan.
“Pernah juga dikasih buah-buahan, dikasih duren dua karung,” ucapnya ketika mengenang kembali memori ketika bertugas di Sungai Rumbai.
Wisata medis
Seiring berjalannya waktu, dr. Taufik menyadari Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi wisata yang besar, dan bisa disandingkan bersama dengan pelayanan medis.
Berawal dari undangan asosiasi medis di Singapura, Malaysia, dan Thailand, dr. Taufik ditunjukkan bagaimana wisata medis dikelola. Selain itu, para dokter yang diundang diharapkan bisa mempromosikannya kepada pasien di Indonesia.
“Tujuannya supaya kita bisa mengirim pasien ke mereka. Dokter-dokter Indonesia yang bisa jadi influencer itu diharapkan untuk mempengaruhi pasien-pasien indonesia untuk dikirim ke sana,” katanya.
Sebelum pandemi, memang ada sekitar 3 juta penduduk Indonesia yang berobat ke luar negeri. Kegiatan tersebut menghabiskan potensi devisa hingga Rp150 triliun per tahun. Wisata medis di Indonesia tentu tidak hanya menyasar pasien lokal, namun juga pasien-pasien dari luar negeri.
“Selain biaya berobat yang dikeluarkan, biaya lainnya juga dikeluarkan seperti biaya hotel, leisure, jalan-jalan,” ucapnya.
Padahal, jika itu dikelola dengan baik di dalam negeri, tentu bisa menjadi sumber ekonomi bagi negara. Ada banyak bidang yang terkait dengan wisata medis, seperti perhotelan, transportasi, infrastruktur, dan sebagainya.
Sebagai Ketua AWMI, dr. Taufik berharap Indonesia memiliki badan yang menangani wisata medis seperti halnya di Malaysia, Singapura, dan Thailand.
“Kita harapkan akan berdampak pada meningkatnya layanan-layanan kesehatan, rumah sakit, dan kualitas dokter juga,” tuturnya.
Sebagai informasi, AWMI baru setahun berdiri, namun sudah sekitar 200 orang yang bergabung di asosiasi ini, terdiri dari dokter-dokter spesialis, rumah sakit, klink, pengusaha perhotelan, dan travel.
Baca Juga: Perjalanan Kaprodi Arsitektur UNMAHA Raih Beasiswa di Inggris
Ke depan, AWMI bertekad untuk mengembangkan wisata medis di sejumlah daerah seperti Bogor, Sentul, Bandung, Yogyakarta, dan Bali. Terkait wisata vaksin di Bali yang dicanangkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, menurutnya itu menjadi salah satu contoh wisata medis.
“Artinya orang sambil jalan-jalan berwisata, terus bekerja sama dengan rumah sakit, kemudian disuntik sehari. Di situ stay sambil diobservasi, mereka bisa rileks sambil meningkatkan imunitasnya,” karanya.
Perpanjangan Tangan Tuhan
Dalam kehidupan sehari-hari, dr. Taufik memiliki prinsip yang tidak pernah lepas yakni berbuat baik sebanyak-banyaknya kepada manusia.
Pada masa sulit seperti pandemi saat ini, dia tidak pernah berhenti untuk memberi edukasi kepada masyarakat. Kepada generasi muda, dia berharap agar mereka bisa menerukan cita-citanya menjadi dokter.
“Kalau cita-cita jadi kaya raya, jangan jadi dokter. Jadi dokter itu hidupnya cukup saja, tidak kaya raya, kalau kaya raya jadi pedagang atau pengusaha,” ujarnya.
“Kalau jadi dokter, kita punya kebahagiaan bisa menolong orang, karena itu tidak ternilai. Kita bantu orang sakit menjadi sehat lagi, jadi istilahnya dokter itu perpanjangan tangan Tuhan,” katanya.
Harus diakui oleh dr. Taufik, profesi dokter kini peminatnya mulai berkurang, karena sebagian anak muda cenderung ingin instan dan mendapatkan uang dengan cara yang tepat.
Menjadi dokter, tentu bukan tanpa ketakutan karena menangani pasien-pasien dengan berbagai masalah kesehatan. Namun baginya, dokter menjalani tugas kemanusiaan yang tidak ternilai.
Baca Juga: Kisah Unik Vaksinator, Ada yang Lolos Skrining, Takut Divaksin dan Sebaliknya
“Kita sudah sumpah jadi dokter, Sumpah Hipokrates, tentu kita harus memberanikan diri, terus berdoa, memakai protokol sesuai SOP,” katanya.
“Kalau ditanya, pasti takut juga. Artinya kita harus kuatkan diri, kalau ini adalah tugas kemanusiaan. Artinya, kita harus lebih hati-hati, menaati protokol kesehatan yang baik,” imbuhnya.
Untuk menjadi dokter harus melewati masa pendidikan yang berat, dan bahkan sepanjang hayat. Kini dr. Taufik bertugas di RSIA Bunda Jakarta, RS Hermina Jakarta, dan RS Brawijaya Jakarta.