JAKARTA, BERNAS.ID – Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) memicu polemik di masyarakat. Salah satu isu yang ramai dibahas adalah kebijakan yang mengatur izin poligami bagi ASN.
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, ikut menanggapi. “Saya belum membaca detail aturannya, tetapi saya akan bertemu dengan Pj Gubernur DKI Jakarta Teguh Setyabudi untuk meminta klarifikasi,” ujar Tito. Pertemuan direncanakan berlangsung di Balai Kota Jakarta pada Senin, 20 Januari 2025.
Baca Juga : Pergub Baru, Pemprov DKI Jakarta Atur Rinci Izin Perkawinan dan Perceraian ASN
Pengamat kebijakan publik, Sugiyanto, menilai Pergub tersebut sebagai regulasi normatif yang sebenarnya sudah sesuai perundang-undangan. “Pergub ini justru mempertegas persyaratan izin poligami yang sangat sulit dipenuhi oleh ASN. Aturan ini tidak mendorong poligami, melainkan memastikan izin hanya diberikan dalam kondisi khusus yang sangat ketat,” jelasnya.
Sugiyanto menguraikan, dalam Pasal 5 Pergub ini terdapat sejumlah syarat ketat untuk mengajukan izin poligami, di antaranya harus melalui persetujuan tertulis dari istri atau istri-istri yang sudah ada, kemudian penghasilan cukup untuk membiayai keluarga, alasan yang mendasari poligami harus jelas dan diterima, serta kemampuan untuk berlaku adil kepada istri dan anak-anak.
Baca Juga : 14 Orang Masih Dicari, Pemprov DKI Pantau Proses Pascakebakaran Plaza Glodok
Izin ini juga harus disahkan melalui putusan pengadilan dan tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama. “Prosesnya sangat rumit, bahkan hampir mustahil untuk dipenuhi,” ujar pria yang akrab disapa SGY itu.
Ia juga menegaskan bahwa tujuan Pergub ini adalah untuk mengatur secara detail tata cara izin yang sebelumnya diatur dalam Keputusan Gubernur Nomor 2799 Tahun 2004. Pergub tersebut memberikan kepastian hukum dan memperketat pengawasan terhadap perilaku ASN.
Dengan aturan ini, Sugiyanto berharap polemik dapat mereda. “Daripada mempersoalkan aturan yang sudah ada dan sejalan dengan perundang-undangan, kita harus melihat esensinya: ini adalah upaya untuk memperketat proses pemberian izin perkawinan kedua, bukan mendorong praktik poligami.” (DID)