BANTUL, BERNAS.ID – Seni performatif/body art/aksi tubuh telah dikenal sejak 70/80-an sebagai eksperimental/happening art dalam upaya menolak seni yang established/konservatisme/konvensional. Tahun 90-an seni performatif cukup popular sebagai media demonstrasi jalanan. Seni performatif dengan tubuh, photo, maupun video sudah sedemikian berkembang luas. Kini, seni performatif terhubung dengan tradisi/adat/ritual/indigenous art yang telah mengakar ribuan tahun di Indonesia, termasuk karakter, wacana, dan perkembangan seni performatif Indonesia hari ini.
Merespons hal itu, Performance Klub bersama Galeri Lorong merancang Kongres dengan rangkaian Konferensi, Workshop, dan Performance Art Seni Performatifitas dengan tema “Tubuh Sakral/Tubuh Ritual’. Acara akan digelar 27-31 Januari 2025 di Galeri Lorong.
“Tubuh Sakral atau Tubuh Ritual diidentifikasikan dengan judul The Sacred Body dan dijelaskan dengan sub tema Kontekstualitas Performance Art Indonesia,” tutur Iwan Wijono, Seniman Performans sekaligus Ketua Performance Klub Minggu (12/1/1025) di Galeri Lorong.
Iwan menjelaskan, masyarakat kita sebenarnya adalah masyarakat adat yang mengalami modernitas bersamaan. Masih ada ritual dan sesajen di dalam acara seni.
“Dengan adanya kongres ini kita akan mengundang orang tari, musik, sampai orang-orang sesaji, untuk membongkar apa itu seni kontemporer di Indonesia,” kata dia.
Baca juga: Pameran “Lupakan Wianta” di ISI Jogja Sajikan Karya dan Arsip I Made Wianta
Program ini merupakan upaya untuk melakukan definisi kontemporer sekaligus menelusur akar performance art Indonesia yang tak bisa dilepaskan dari seni/masyarakat tradisi dan tetap berkait dengan kehidupan modern dan budaya post modern yang berlangsung paralel.
Kurator dan Manajer Umum Galeri Lorong, Dr. Octalyna Puspa Wardany menerangkan, Kongres Performance Art Indonesia yang merupakan kongres pertama kali ini akan menghadirkan para narasumber dengan beragam latar belakang keilmuan. Dilanjutkan dengan workshop yang akan menghadirkan para fasilitator dengan beragam disiplin medium seni serta rekam jejak kekaryaan seni yang performatif, antara lain tari, performance, teater, sastra, pendokumentasian, dalang, dan musik. Selanjutnya, para peserta mempresentasikan hasil workshop kepada publik.
“Program performance art ini berupaya mempertemukan seniman pelaku performance, public, ruang, dan karya,” ujar dia.
Baca juga: Pameran Tunggal “Ngunda Rasa” Dewa Made Mustika, Dapat Inspirasi Dari Anaknya
“Acara ini tanpa sponsor, sehingga untuk ikut acara berdonasi minimal Rp.100 ribu,” ujar dia.
Diharapkan dengan program ini pemetaan perkembangan seni kontemporer maupun performatif di Indonesia menjadi jelas, apakah sudah selayaknya sebagai seni yang berkembang dengan keindonesiaannya ataukah jauh dengan konteks sosial dan alam tempat kesenian tersebut berkembang. Bagaimana merancang wacana dan perkembangannya kemudian atau melestarikannya apabila sudah sedemikian kontekstual dengan kondisi sekitarnya, lokal maupun inter lokal. Lebih lanjut, diharapkan ada pembacaan yang lebih radikal dalam melihat performance art yang mengakar pada keindonesiaan. (den)