SLEMAN, BERNAS.ID – Monsinyur (Mgr) Albertus Soegijapranata adalah seorang Uskup Agung Semarang yang memiliki peran penting dalam kemerdekaan Indonesia. Peran Soegijapranata dalam kemerdekaan Indonesia adalah aktif melakukan diplomasi lewat tulisan-tulisannya, termasuk kepada Vatikan, yang akhirnya menjadi negara Eropa pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia.
Hal itu disampaikan pegiat literasi asal Papua Benediktus Fatubun saat menjadi pembicara dalam diskusi “Dari Diplomasi ke Diplomasi: Kiprah Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ. dalam Perjuangan Kemerdekaan”.
Acara yang menampilkan hasil riset tentang Soegijapranata ini digelar Senin (4/11/2024) di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
“Soegija berdiplomasi lewat tulisan-tulisannya. Tulisan-tulisan Soegija ini sangat mempengaruhi dunia, terutama [yang dimuat] di dua majalah terbitan Belanda,” kata dia.
Baca juga: Unika Soegijapranata Gagas Ruang Layak Anak di Lingkungan Wilayah Pengabdiannya
Ia menjelaskan, dari catatan harian Soegija pada tanggal 1 Agustus 1947, dijelaskan bahwa Soegija pernah membacakan pidato gencatan senjata di studio Radio Purwosari, Surakarta, Solo, terkait Agresi Militer Belanda I. Hal itu dilakukan menyusul peristiwa penembakan pesawat di Maguwo Yogyakarta.
Benediktus melanjutkan, sebelumnya, di zaman pendudukan Jepang, pastor-pastor Belanda banyak ditangkap. Tapi Soegija waktu itu sudah diangkat menjadi uskup pribumi pertama oleh Gereja Katolik. Karena itu lewat catatan-catatan hariannya, Soegija berusaha menjelaskan bahwa di situasi chaos, pemimpin-pemimpin Katolik tetap ada dan tidak lari.
“Soegija mengatakan bahwa ini Katolik tetap ada untuk mendukung kemerdekaan,” katanya.
Ia menjelaskan, Soegija menyadari konsekuensi yang akan diterima jika Gereja Katolik tidak terlibat dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Maka dari itu, Soegija menjelaskan, kalau kemerdekaan diperolah tanpa Gereja Katolik, kemerdekaan itu akan berjalan tanpa Gereja Katolik.
“Sebab Gereja Katolik tidak memiliki kontribusi dalam perjuangan kemerdekaan. Bahkan, Soegija memperingatkan umat Gereja Katolik: yang lebih buruk lagi: ‘Te Deum (pujian) bagi kemerdekaan berarti sebuah Requiem (peringatan) bagi pemakaman kita’,” kata dia.
Selanjutnya, dalam berdiplomasi dengan Jepang lewat tulisan-tulisannya, Soegija sebagai uskup sengaja selalu membawa nama Paus Pius XII selaku pimpinan Tahta Suci Vatikan. Karena menghargai Vatikan, Jepang pun mau berdiplomasi dengan Soegija.
“Soegija juga menegaskan Katolik bukan antek-anteknya Belanda,” kata Benediktus.
Baca juga: 40 Mahasiswa Sastra Indonesia USD Kunjungan Media ke Redaksi Bernas.id
Pembicara lain, seniman dan penulis Nisa Ramadani menjelaskan, sejak muda Soegija memang suka menulis. Tulisan Soegija banyak dimuat di Swara-Tama, sebuah surat kabar Katolik tahun 20-an yang isinya tidak melulu persoalan agama. Surat kabar tersebut pun akhirnya dikepalainya.
“Soegija [lewat tulisannya] bisa membuat analogi yang mudah dipahami, yang kemungkinan keterbacaannya tinggi,” kata dia. (den)