BERNAS.ID – Sri Lanka kini tengah menjadi sorotan dunia. Pasalnya, negara di Asia tersebut kini menghadapi krisis ekonomi terburuk dalam lebih dari 70 tahun akibat utang.
Mengutip NDTV pada Kamis (14/4/2022), utang luar negeri Sri Lanka mencapai US$51 miliar atau sekitar Rp732 triliun (kurs Rp14.347). Kelangkaan makanan dan bahan bakar, serta dengan pemadaman listrik membuat 22 juta penduduk itu menderita.
Dua lembaga pemeringkat kredit terbesar di dunia, Fitch Ratings dan S&P Global Ratings, menyebut Sri Lanka gagal bayar utang.
Baca Juga: 4 Manfaat Perusahaan Go Public, Salah Satunya Gampang Utang
BBC melaporkan, Sri Lanka memiliki kewajiban pembayaran obligasi internasional yang harus dibayarkan pada pekan depan senilai US$78 juta atau sekitar Rp1,1 triliun.
Jika tidak membayar dalam masa tenggang 30 hari, maka akan menandai bahwa Sri Lanka telah gagal membayar utang sejak kemerdekaan dari Inggris pada 1948.
Sementara, cadangan devisa Sri Lanka tercatat US$1,93 miliar atau sekitar Rp27,7 triliun pada akhir Maret 2022. Di sisi lain, negara tersebut memiliki utang sekitar US$4 miliar atau sekitar Rp57,4 triliun yang harus jatuh tempo pada tahun ini.
Pada pekan depan, pemerintah Sri Lanka akan memulai pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional atau IMF. Kedua belah pihak akan membahas program pinjaman untuk mengembalikan perekonomian negara tersebut.
Sejak merdeka, Sri Lanka tidak memiliki catatan buruk dalam membayar cicilan utang. Demikian pernyataan dari Kementerian Keuangan Sri Lanka.
“Namun peristiwa baru-baru ini telah mengikir posisi fiskal Sri Lanka yang berdampak pada pembayaran normal kewajiban utang publik eksternal menjadi tidak mungkin,” tulis pernyataan kementerian pada Selasa (12/4/2022).
Baca Juga: Pembiayaan Utang APBN Mengecil, Hanya Rp3 T Per Januari 2022
Melansir New Straits Times, S&P Global Ratings menyebut butuh waktu berbulan-bulan bagi Sri Lanka untuk melakukan restrukturisasi utang luar negeri.
“Proses restrukturisasi utang Sri Lanka kemungkinan akan rumit dan butuh waktu berbulan-bulan untuk diselesaikan,” demikian pernyataan lembaga tersebut.
“Negosiasi dengan IMF untuk membentuk program reformasi dan pendanaan masih dalam tahap awal,” imbuhnya.
Aksi Protes
Sementara itu, penduduk melakukan aksi unjuk rasa dengan menggelar kemah di sekitar kantor presiden. Mereka menuntut Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa untuk mengundurkan diri akibat krisis ekonomi.
Laporan NPR menyebutkan, meski berpuasa selama Ramadan, terlihat para pendukung pengunjuk rasa berbagi air minum dan makanan. Protes yang sudah berlangsung selama berminggu-minggu itu mengarah ke keluarga Rajapaksa, yang telah berkuasa selama hampir dua dekade terakhir.
Para kritikus menuding keluarga itu telah banyak berutang untuk membiayai proyek-proyek yang tidak menghasilkan uang, seperti fasilitas pelabuhan yang dibangun dengan pinjaman dari China.
Sebelumnya, Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa, yang sebelumnya juga mantan presiden sekaligus kakak dari presiden saat ini, berupaya meyakinkan warga Sri Lanka. Dalam pidato Senin (11/4/2022) malam, ia mengatakan pemerintah sedang berupaya menyelesaikan masalah yang sedang berlangsung.
Baca Juga: Cara Cepat Melunasi Utang, Jangan Sampai Terlambat!
“Kami sedang memulai program besar untuk mengatasi krisis yang kita hadapi hari ini,” tuturnya.
“Setiap detik yang dihabiskan oleh presiden dan pemerintah digunakan untuk membangun kembali negara kita,” imbuhnya.
Namun, ia menolak untuk menyerahkan kekuasaan dengan mengatakan koalisi berkuasa sekarang akan terus memerintah Sri Lanka. Sementara, partai-partai oposisi menolak seruannya untuk bersatu dengan pemerintahan saat ini.
Sri Lanka telah meminta keringanan utang dari India dan China. Di sisi lain, China dan Jepang menjadi dua kreditur utama dengan masing-masing memegang sekitar 10% dari utang Sri Lanka, sementara bagian India masih di bawah 5%.