BERNAS.ID – Kementerian Perdagangan mencatatkan jumlah transaksi aset kripto hingga Mei 2021 mencapai Rp370 triliun. Angka itu melonjak drastis dari tahun sebelumnya sebesar Rp65 triliun.
Jumlah investor pun meningkat, dari yang sebelumnya 4 juta orang pada 2020 menjadi 6,5 juta orang hingga Mei 2021. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menegaskan pentingnya untuk mencegah kerugian akibat tidak memahami dinamika aset kripto.
Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Indrasari Wisnu Wardhana mengingatkan masyarakat agar tidak mudah percaya dengan iming-imingi keuntungan tetap atau tinggi yang ditawarkan.
“Kita perlu menjadi pelanggan yang cerdas. Sebelum memutuskan bertransaksi aset kripto, pastikan sudah memahami apa aset kripto itu, termasuk mekanisme perdagangan dan langkah-langkah penyelesaiannya,” katanya, seperti dikutip dari situs resmi Kemendag.
Baca Juga: Mengenal Cryptocurrency Trading, Strategi, Risiko, dan Cara Memulainya
Meski bisa menjadi peluang usaha, namun aset kripto bukanlah alat pembayaran. Bappebti memasukkan kripto sebagai alat investasi yang dapat dimasukkan sebagai komoditas dan dapat diperdagangkan di bursa berjangka. Sementara, kripto kerap digunakan sebagai alat tukar di sejumlah negara.
Menyikapi semakin maraknya aset kripto, Bank Indonesia berupaya gerak cepat. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam Rapat Kerja dengan Anggota DPR XI mengatakan aset kripto merupakan permasalahan yang dihadapi oleh seluruh dunia.
“Aset kripto adalah masalah dunia karena tentu saja ini adalah perdagangan dunia, dan kita juga tidak tahu siapa yang pegang suplai, tapi permintaannya dari seluruh dunia,” katanya pada 25 November 2021.
Meski demikian, bank sentral telah menyusun langkah dengan rencana penerbitan rupiah digital Central Bank Digital Currency (CBDC). Lalu, apa itu rupiah digital atau CBDC dan mengapa negara lain juga sedang berupaya untuk menerbitkan uang digital?
Mengutip dari Indonesia.go.id, rupiah digital adalah representasi uang digital yang menjadi simbol kedaulatan negara atau sovereign currency yang diterbitkan oleh bank sentral dan menjadi bagian dari kewajiban moneter.
Cnet melaporkan bank sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve (The Fed) juga merencanakan peninjauan manfaat dan risiko kehadiran CBDC. Dolar digital ini akan menggabungkan elemen cryptocurrency yang terdesentralisasi seperti bitcoin.
Berbeda dengan bitcoin atau aset kripto lainnya, CBCD dikeluarkan dan diatur oleh otoritas keuangan negara. Tentu saja, Negeri Paman Sam itu tidak sendirian dalam mengupaya terbitnya uang digital. Masih ada puluhan negara, termasuk Indonesia, yang sedang merumuskan gagasan tersebut.
Menurut International Monetary Fund (IMF), ada sekitar 110 negara yang sedang mengembangkan CBDC. Sementara, negara yang telah menerbitkan CBDC adalah Bahama, Nigeria, dan beberapa negara di Karibia timur. Nama mata uang digital itu seperti Sand Dollar, eNaira, dan DCash.
Negara yang baru-baru ini menyalip Amerika Serikat sebagai negara terkaya di dunia, China, memang melarang keberadaan cryptocurrency. Namun, Negeri Tirai Bambu itu memimpin pengembangan CBDC melalui yuan digital.
Baca Juga: Makin Diminati, Bagaimana Langkah Bank Indonesia dalam Mengawasi Aset Kripto?
Mengutip Cnet, China telah melakukan uji coba transaksi senilai lebih dari 5 miliar dolar AS sejak Juni 2021. Bank sentral di China melaporkan telah menguji keandalan teori ekonomi, stabilitas sistem, dan pengendalian risiko terkait CBDC.
Uji coba tersebut termasuk menyuntikkan yuan digital kepada sejumlah orang secara acak untuk dibelanjakan di toko offline yang ditentukan dan toko online terbesar di China JD.com.
Kehadiran mata uang kripto menjadi peringatan bagi pemerintahan, yang telah lama memonopoli penerbitan mata uang. Setidaknya, itu yang diyakini oleh seorang Profesor Antropologi dan Ahli Sejarah Moneter, Teori, dan kebijakan di The New School di Kota New York, AS, Gustav Peebles.
“Sepanjang sejarah, mata uang dapat dikeluarkan oleh publik atau entitas swasta, dan apa yang telah ditunjukkan oleh kripto kepada kita adalah menyalakan kembali pertarungan lama antara penerbitan mata uang swasta dan publik,” katanya, seperti dilansir dari Cnet.
Serba-serbi Rupiah Digital
Kembali soal rupiah digital, Perry menyebut BI masih melakukan kajian dalam menentukan konsep dan teknologi yang akan dipakai dalam upaya mendukung transformasi digital di Tanah Air.
Untuk mewujudkan kehadiran digital currency, ia menjelaskan tentang perlunya tiga prasyarat. Pertama, terkait konseptual desain yang masih terus digodok. Kedua terkait dengan infrastruktur pasar uang dan sistem pembayaran yang harus saling terhubung atau tersambung.
“Ini yang sedang kami bangun. Inilah kenapa kami bangun BI FAST, BI Electronic Trading Platform (ETP) dan Central Counterparty (CCP), ini supaya RTGS (Real Time Gross Settlement) jadi tempat untuk mendistribusikannya,” jelasnya.
Kemudian prasyarat yang ketiga terkait dengan platform teknologi yang akan digunakan, seperti blockchain, DLT (Distributed Ledger Technology), dan stable coin. Menurut Perry, saat ini dunia masih belum sepakat mengenai teknologi yang sekiranya tepat.
Mengutip situs resmi BI, penerbitan rupiah digital atau CBCD merupakan inisiasi atas kesepakatan bank sentral di seluruh dunia sejak pertama kali munculnya cryptocurrency yang diluncurkan oleh lembaga lain di luar bank sentral.
Kapan rupiah digital akan diluncurkan?
BI belum memutuskan penerbitan rupiah digital dalam waktu dekat. Meski demikian, berbagai persiapan dilakukan. Bank sentral itu juga masih berfokus dalam melakukan transformasi digital demi terwujudnya implementasi Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025.
Pada Rapat Kerja dengan Anggota DPR XI, Perry mengatakan konseptual desain dari CBCD dapat dipresentasikan pada tahun depan.
“Kami juga tidak tinggal diam dengan proses untuk mempercepat penerbitan rupiah digital. Ini yang sedang kami siapkan. Insya Allah, tahun depan bisa kami presentasikan konseptual desainnya,” tuturnya.
Teknologi apa yang dipakai untuk menerbitkan rupiah digital?
Dalam situsnya, BI masih melakukan asesmen untuk melihat potensi CBDC dengan perekonomian Indonesia. Hal tersebut tentu dapat berimplikasi pada perbedaan desain dan arsitektur yang akan dipilih, termasuk soal mitigasi risiko seperti halnya teknologi blockchain yang ada pada cryptocurrency.
“Apakah blockchain, DLT, atau stable coin. Ini seluruh dunia lagi coba-coba. Ini yang belum sepakat mana teknologi yang pas. Ini yang kami koordinasikan dengan 7 bank sentral,” jelas Perry.
Apa yang akan terjadi jika seluruh bank sentral menerbitkan CBDC?
Jika suatu saat seluruh bank sentral di dunia meluncurkan CBDC, menurut BI, dari sisi moneter tidak akan terjadi perbedaan dengan kondisi saat ini. BI menilai penggunaan CBDC seperti halnya ketika masyarakat memakai uang kartal (uang kertas dan logam), uang elektronik, dan dompet elektronik.
Baca Juga: Ini Beberapa Negara yang Lebih Dulu Melarang Penggunaan Mata Uang Kripto
Namun, ketika CBDC diterapkan di seluruh bank sentral maka akan memberikan kemudahan dalam transformasi digital dari sisi masyarakat. Sementara, dari sisi bank sentral, pengelolaannya akan lebih mudah karena secara terdesentralisasi.
Bagaimana sikap BI terhadap mata uang kripto?
BI menegaskan alat pembayaran yang sah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah rupiah. Hal ini sesuai dengan UU No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Dengan demikian, bitcoin, ethereum, ripple, libra, dan lain-lain bukan alat pembayaran yang sah.
Bank sentral itu mengingatkan kepada masyarakat, dalam hal risiko, menyimpan mata uang kripto sebagai komoditas investasi yang tidak memiliki underlying dan memiliki potensi serta fluktuasi yang besar.