Bernas.id – Wafatnya sang ayah menjadi titik balik dalam perjalanan hidup Fauziah Zulfitri. Meski dengan luka kesedihan, dia mampu bangkit dengan segala lika-liku dalam karier untuk kemudian menjadi seorang professional coach.
Perempuan asal Makassar ini menyadari setiap manusia memiliki potensi yang harus digali dan diasah. Dia menyebut dirinya sebagai “pengasah berlian”. Ia membuktikan jika orang-orang di Indonesia Timur berdaya.
Namun, sumber daya itu memerlukan keyakinan dan kepercayaan untuk menghasilkan versi terbaik dalam dirinya. Berkarier selama 17 tahun di Jakarta, mulai dari posisi terbawah hingga atas, nyatanya ia memilih kembali ke kampung halaman.
Di Makassar, perempuan yang akrab dipanggil Ochy itu semakin melebarkan sayapnya di dunia pengembangan sumber daya manusia (SDM) dengan mendirikan Insight Group, sebuah lembaga pengembangan kualitas SDM di Indonesia Timur.
Baca Juga: Perjalanan Lidia Rusvita Jadi Coach Dimulai dari Bahagia Membantu Sesama
Leadership and Executive Coach ini juga telah berhasil membuat 30 orang asal Makassar menjadi coach, yang membuat kegiatan coaching di wilayah tersebut semakin populer.
Langkah Maju dalam Duka
Ochy sangat menyukai matematika dan suka mendesain hingga ia bercita-cita menjadi seorang arsitek. Tapi saat sedang mengikuti ujian akhir SMA, ia harus menghadapi kenyataan sang ayah yang wafat.
Hidupnya seperti runtuh karena kesedihan yang teramat dalam. Bagi Ochy, peristiwa itu menjadi titik balik, apakah dia harus berada di posisi itu terus atau justru melangkah maju.
Ia pun memilih untuk maju meski duka tak bisa hilang dalam hitungan hari. Tiba waktunya mengurus pendidikan yang lebih tinggi. Meski berduka, jalannya untuk memilih universitas mengalami kemudahan.
“Tadinya saya mau masuk ITB (Institut Teknologi Bandung) lewat jalur UMPTN. Saya mau masuk ke arsitek ITB, eh tapi saya malah dapat bebas tes di UI (Universitas Indonesia) lewat jalur siswa berprestasi,” katanya kepada Bernas.id.
“Jadi begitu hidup saya berat banget ditinggal ayah, habis itu saya menantikan abis ini Allah mau memberi apa sih ke saya,” ujarnya.
Meski begitu, ia tidak bisa memilih jurusan arsitek di UI. Ochy pun mau tidak mau menceburkan diri di Fakultas Psikologi UI. Pada 1994, ia harus meninggalkan Makassar untuk meneruskan pendidikan di Depok, Jawa Barat.
Dengan cara itu, mungkin saja dapat mengurangi kesedihannya karena kepergian sang ayah. Mengingat dirinya bisa menangis ketika melihat baju sang ayah, atau bahkan mendengar suara mobil dinyalakan.
Sebagai anak sulung dari dua bersaudara, Ochy menyaksikan bagaimana sang ibu begitu berat melepasnya. Tapi, ibunya tahu bahwa putri pertamanya itu memiliki semangat yang besar.
“Ibu saya merelakan saya pergi. Ibu saya tahu kalau saya punya ambisi besar yang nggak bisa kalau cuma di Makassar. Karena sejak SMA, saya aktif di organisasi. paling menonjol pokoknya, walaupun badannya kecil, tinggi cuma 150 cm, pokoknya sangat menonjol dari sisi leadership, prestasi, dan ketua beberapa organisasi,” jelasnya.
Baca Juga: Kisah Karatyaning Lintang, Berawal dari Pendengar yang Baik hingga Coach untuk Future Leader
Sang ibu mengantar Ochy hingga ke Jakarta. Momen tersebut tidak pernah dilupakan Ochy karena pesan dari sang ibu yang sangat menyentuh hatinya. Ibunya berkata bahwa Ochy tidak perlu membuktikan apapun kepada siapapun.
Ia hanya perlu membuktikan kepada dirinya sendiri, mau itu berhasil ataupun tidak berhasil, segalanya berada di tangan Ochy. Bahkan Ochy masih mengingat pesan sang ibunda terkait jurusan psikologi yang akan ia pelajari selama kuliah,
“Dia bilang, 'Satu hal yang mama lihat dari orang psikologi itu, dia tidak akan jadi psikolog yang baik kalau dia tidak bisa bijaksana melihat orang lain, dan saya ingin kamu menjadi orang itu',” ujar Ochy menirukan perkataan sang ibu.
“Bijaksana itu artinya kita memandang orang lain itu tidak dari kacamata yang negatif, tidak memandang orang lain dari kacamata kita juga. Jadi ibu saya ngomong soal judgmental itu sejak dari saya pertama kali masuk psikologi,” imbuhnya.
Passion Temukan Potensi
Meski tidak pernah terpikir akan menjalin “hubungan” erat dengan psikologi, nyatanya Ochy perlahan bisa jatuh cinta dengan jurusan tersebut. Kuliah juga menjadi sarana untuk menghilangkan kesedihan karena bertemu dengan teman baru, hal baru, dan bahkan seorang kekasih.
Ochy kembali mengingat perkataan sang ibu yang bilang bahwa lupa adalah anugerah. Meski lupa bukan berarti hilang sama sekali, namun lebih kepada melupakan kesedihan.
“Akhirnya ketika pelan-pelan belajar, walaupun nggak mudah juga ya, karena banyak hal baru yang saya temukan. saya jatuh cintanya karena mempelajari perilaku orang lain itu ternyata menarik,” tuturnya.
Singkat cerita, ia berhasil menyelesaikan studi S1 pada 1998. Yang terlintas di benak Ochy ketika lulus hanya bekerja dan bekerja. Apalagi kondisi ibu yang menjadi orangtua tunggal bagi kedua putrinya, Ochy tidak tega untuk meminta lanjut studi S2.
Hal yang paling bisa dilakukan Ochy untuk membantu keluarganya adalah dengan bekerja. Ia pun memilih bekerja di human resource atau HR di wilayah Segitiga Emas Jakarta. Ya, dia berhasil mendapatkan pekerjaan pertamanya.
“Pokoknya saya nggak mau ngelamar di tempat lain. Itu tempat yang prestise. More or less saya akan dapat perusahaan yang bagus. Ternyata saya tidak salah jalan,” ujarnya.
“Pas masuk ke psikologi, saya belajar kekuatan pikiran. jadi saya melatih diri saya untuk memperkuat mindset saya, ketika saya mau sesuatu, maka bisa saya dapatkan,” ucapnya.
Baca Juga: Kisah Issa Kumalasari Membantu Sesama Lewat NLP
Kariernya diawali sebagai staf rekrutmen yang sangat administratif. Setahun kemudian, dia bekerja untuk The Nielsen Company, yang membuatnya jatuh cinta dengan dunia pelatihan dan talent management.
Mulai dari posisi paling bawah dan gaji UMP sebagai staf training, karier Ochy terus menanjak hingga menjadi Senior Executive, Learning, and Development. Dia belajar banyak tentang pengelolaan dan pelatihan karyawan.
“Saya passion untuk membantu orang menemukan potensi mereka,” katanya.
Ochy yang saat itu berusia 23 tahun juga belajar membuat design career. Kala itu, dia menulis keinginan untuk memiliki consulting HR sendiri pada usia 40 tahun. Dia juga menulis hal-hal yang ingin dicapai pada usia tertentu, seperti misalnya sebelum usia 30 tahun, ia harus menjadi manajer, dan seterusnya.
Target itu memicunya untuk serius mengumpulkan bekal, termasuk mengikuti sejumlah pelatihan.
Perempuan Memimpin
Karier Ochy terus meningkat, termasuk di beberapa perusahaan, sampai akhirnya menempati posisi tertinggi sebagai direktur. Baginya, perempuan yang memimpin kerap memperoleh stigma.
“Dalam film The Devils of Prada , ada satu kalimat yang benar banget, kalau perempuan jadi pemimpin kemudian dia tegas dan asertif, orang itu mengira dia agresif, career freak dan lain-lain,” katanya.
“Jadi saya dari dulu ketika dikasih posisi leader, saya belajar dalam memimpin itu yang perlu kita taklukan pertama kali adalah diri kita dulu, bukan orang lain,” imbuhnya.
Melalui leadership, ia belajar memimpin diri sendiri dan menemukan bahwa pemimpin tidak memandang gender. Meski demikian, perempuan yang memimpin kerap disangsikan sehingga harus membuktikan dirinya dua kali lipat dibandingkan pria.
Menurut Ochy, self leadership atau memimpin diri sendiri bisa teruji dengan tiga hal, yakni kejernihan melihat diri sendiri, komitmen terhadap diri sendiri, dan konsisten. Ketiga hal tersebut menjadi modal untuk memiliki integritas, disiplin, mengambil keputusan, dan memperlakukan orang lain dengan baik.
“Kalau leader nggak jernih melihat dirinya sendiri, termasuk kekurangan dan kelebihannya, serta hal-hal yang harus diperbaiki, terus nggak komit dan konsisten, maka orang nggak akan betah dengan leader yang seperti itu,” ujarnya.
Ochy terus belajar dan mengumpulkan bekal untuk menggapai impiannya memiliki consulting HR. Dia mengikuti pelatihan assessment leadership, Neuro Linguistic Programming (NLP), hingga pada 2015, ia mengenal metode coaching.
Pengasah “Berlian”
Sebelum semakin melebarkan sayapnya di dunia coaching, pada 2009, ia berniat untuk kembali ke Makassar. Ibu Kota memang bukan tempat yang nyaman baginya untuk memiliki kualitas hidup yang baik bersama suami dan empat anaknya.
Keberuntungan bersama Ochy karena dia mendapat tawaran pekerjaan di Makassar. Sebuah skenario yang indah, yang membuatnya kembali ke kampung halaman, membangun karier di sana, dan semakin mencintai profesinya sebagai coach.
Ia mulai dikenal orang sebagai coach, facilitator, dan consultant. Namun, ia lebih suka menyebut profesinya sebagai “pengasah berlian”. Dengan metode coaching, ia bisa menggali potensi dalam setiap diri manusia.
“Coaching itu mampu membuat orang menemukan potensi di dalam dirinya masing-masing, simply dengan mendapatkan percakapan bermakna dengan coach-nya,” ucapnya.
Dia meyakini setiap manusia punya sumber daya terbaik dalam dirinya, hanya saja diperlukan keyakinan, membutuhkan orang yang menggali, dan orang yang percaya bahwa dia bisa.
“Saya pengasah berlian, saya bantu orang mengasah potensi dirinya sampai dia mencapai versi terbaik dalam dirinya,” katanya.
“Kalau di buku saya, saya menuliskan memimpin itu bukan lagi sekadar meraih impian kita tapi membantu orang meraih impiannya,” imbuhnya.
Ochy meluncurkan buku berjudul I'm Your Coach: Memimpin dengan Cinta dan Penghargaan. Mengapa harus cinta dan penghargaan? Baginya, kedua hal tersebut merupakan hal yang paling dibutuhkan manusia, terlepas dari siapapun mereka.
Baca Juga: Perjalanan Denny Santoso: Dari Jualan Suplemen, Jatuh Bangun Rintis Startup, dan Tuai Kesuksesan
Pemimpin yang penuh cinta dan penghargaan, sesuai dengan mindset dalam coaching, akan membuat karyawan bahagia.
“Ketika menjadi leader yang menggunakan coaching mindset, itu juga bisa saya berikan kepada karyawan saya karena mendasari kepemimpinan saya dengan kesetaraan, respect, non-judgemental, dan bisa menerima orang apa adanya,” jelasnya.
Ia pun membawa kabar baik dari Indonesia tentang dunia coaching yang sudah mulai dikenal di wilayah tersebut. Pada 2018, ia menggelar kelas sertifikasi profesional bagi para coach, dan sejauh ini sudah menghasilkan professional coach dari Makassar.
Melihat peluang itu, ia mengatakan sekolah coaching lainnya mulai berdatangan ke Makassar. Siapapun bisa mengikuti metode coaching untuk menggali potensi dalam diri mereka, mulai dari remaja hingga CEO. Ochy memilih untuk menjadi leadership executive coach.
“Klien-klien saya yang korporasi sudah banyak, saya sudah punya banyak klien coaching (di Indonesia Timur), di itu kabar baik. Bayangkan saja di Jawa dan Sumatra, berarti metode ini sudah dikenal luas,” jelasnya.
Cita -cita Besar
Di Makassar, Ochy berhasil meraih satu impiannya lagi yang sempat ia tulis di design career ketika ia berusia 23 tahun. Ia memiliki lembaga pengembangan kualitas SDM yang berbasis di Makassar.
Dia mendirikan Insight Indonesia, yang sudah ia rintis sejak 2010, dan berdiri secara resmi dengan identitas legal sebagai PT Insan Sinergi Talenta pada 2015. Perusahaan ini memiliki visi untuk mengembangkan kualitas SDM di Indonesia Timur.
Ochy menyadari kebanyakan orang di sana masih Jakarta minded atau Jawa minded jika berbicara tentang konsultan. Sebagai perusahaan baru, ia sempat dipandang sebelah mata.
Tapi ia tidak menyerah. Pada 2016 hingga 2017, ia mencurahkan segala pikiran dan tenaganya untuk branding dan mendidik pasar. Pada 2018, usahanya membuahkan hasil.
Pada masa pandemi pun, semangat Ochy terus menggelora. Pada suatu malam, ia menemukan inspirasi yang membuatnya ingin menjadikan Insight Indonesia sebagai Cahaya Timur dari Indonesia.
“Maka saya buatlah #InsightdariTimurIndonesia. Itu yang saya bawa terus sampai sekarang. Kenapa? Karena di Makassar ini niche marketing untuk consulting HR cukup besar, tapi orang sini mikirnya yang bagus (SDM) hanya datang dari Jawa,” jelasnya.
Cita-cita besar itu semakin terlihat karena kliennya tak hanya dari Makassar, tapi sudah merambah hingga Pontianak, Bandung, Kupang, dan beberapa wilayah di Jawa dan Sumatra.
“Ini jadi kekuatan besar, bahkan saya dengar teman-teman di Jakarta, saya itu sudah dianggap saingan sama konsultan-konsultan dari Jakarta, mereka mau penetrasi ke sini tapi ada Insight. Saya sudah dianggap saingan,” ujarnya.
Baca Juga: Kisah Rini Haerinnisya, “Dibajak” Berbagai Perusahaan hingga Jadi Professional Life Coach
Ochy membawa tiga nilai utama dalam membangun Insight Indonesia, yakni berkah, berdaya, berkarya dan bermanfaat. Ia juga mengutamakan nilai-nilai itu dalam kehidupan sehari-sehari.
“Apapun yang saya lakukan harus memberi berkah, memberdayakan orang lain dan saya, saya ingin bermanfaat untuk orang banyak, dan bermanfaat,” katanya.
20 tahun sudah dia menekuni dunia pengembangan SDM. Penyuka aktivitas outdoor, yoga, aikido, dan buku ini telah mendapatkan sejumlah lisensi terkait coaching, seperti ICF Associate Certified Coach, Certified Leadership and Executive Coach, Licensed Master Coach of Muslim Women Coaching, dan Certified Virtual Facilitator from International Institute of Facilitator.