BERNAS.ID – Bonus demografi di Indonesia yang tengah berjalan dan puncaknya pada 2030-2040 benar-benar menjadi perhatian para praktisi di bidang sumber daya manusia.
Gerakan Nasional Indonesia Kompeten atau GNIK menyadari apabila bonus demografi tidak boleh dihadapi dengan berleha-leha dan memikirkan diri sendiri. Untuk itu, diperlukan peningkatan kompetensi SDM yang merata di seluruh daerah.
Tapi, apa sebenarnya bonus demografi? Lalu, apa keuntungannya bagi kemajuan bangsa di masa depan?
Mengutip dari Investopedia, demographic dividend atau bonus demografi adalah pertumbuhan ekonomi yang merupakan hasil dari perubahan struktur usia penduduk suatu negara.
Baca Juga: GNIK: Perlu Akselerasi SDM Kompeten untuk Manfaatkan Bonus Demografi
Sementara itu, Kementerian PPN/Bappenas menyebut bonus demografi adalah jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar dibandingkan usia tidak produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun).
Pada periode tersebut, penduduk usia produktif diproyeksikan akan mencapai 64% dari total penduduk Indonesia yang diperkirakan sebesar 297 juta jiwa. Sebagai informasi, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk Indonesia pada 2020 mencapai 270,20 juta jiwa.
Untuk memetik manfaat maksimal dari bonus demografi, SDM yang melimpah itu harus diimbangi dengan peningkatan kualitas dari sisi pendidikan dan keterampilan, termasuk kaitannya dalam menghadapi keterbukaan pasar tenaga kerja.
Di sisi lain, Indonesia juga sedang mengejar cita-cita mewujudkan Indonesia Emas di tahun 2045. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy baru-baru ini mengatakan kunci menjadi negara maju adalah SDM yang unggul, berdaya saing, dan berkualitas, serta memiliki penghasilan yang mencukupi.
Mengutip dari situs resmi Kemenko PMK, Muhadjir menuturkan masih terdapat tantangan yang harus diselesaikan pemerintah, salah satunya lapangan kerja yang belum tersedia untuk seluruh angkatan kerja produktif.
“Tantangan kita sekarang, menyiapkan lapangan kerja sebesar-besarnya. Kalau penduduk produktif ini tidak disiapkan lapangan kerja yang jumlahnya relatif sama dan kualifikasi yang sama. Maka yang dipanen bukan bonus demografi tetapi musibah demografi,” katanya pada Sabtu, (23/10/2021).
“Karena akan terjadi angka pengangguran yang meledak, dan setelah bonus demografi ini akan jadi ageing society,” imbuhnya.
Baca Juga: Potensi Ekonomi Halal RI Mencapai Rp53,66 Triliun
Pada Februari 2021, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menanggapi hasil survei penduduk 2020 yang dirilis oleh BPS. Survei BPS memperlihatkan penduduk Indonesia saat ini didominasi usia produktif (15-64 tahun) yang mencapai 191,08 juta jiwa atau sekitar 70,72% dari total populasi penduduk.
Sementara itu, rasio ketergantungan atau dependency ratio di Tanah Air pada 2020 mencapai angka 41, yang berarti setiap 100 penduduk usia produktif akan menangung 41 penduduk usia nonproduktif. Angka tersebut merupakan rasio terendah selama ini.
“Hal itu menandakan bahwa kita sedang memasuki periode terbaik bonus demografi dan melimpahnya penduduk usia produktif tentu harus dimanfaatkan bagi peningkatan kesejahteraan penduduk,” ujarnya.
“Ini merupakan peluang bagi bangsa Indonesia untuk bagaimana meningkatkan kualitas dan produktivitas SDM menjadi lebih unggul dan berdaya saing,” pungkas dia,” ucap Hasto.
Meski demikian, akankah Indonesia mampu bergerak cepat menuju status negara berpenghasilan tinggi seperti Taiwan dan Korea Selatan?
Dalam tulisannya di East Asia Forum, Profesor Emeritus The University of London, Anne Booth, menyebutkan Indonesia masih memiliki masalah dengan kualitas pendidikan dan kesehatan, terutama untuk bayi dan anak-anak.
Isu-isu kesehatan di Tanah Air masih diterpa dengan ancaman stunting pada anak, kematian ibu melahirkan, dan gizi buruk. Booth menilai, kelompok masyarakat tersebut harus mendapat perhatian lebih dari pemerintah.
“Tanggung jawab untuk kesehatan dan pendidikan dasar dilimpahkan kepada pemerintah kabupaten, yang tidak semuanya memiliki sumber daya atau motivasi untuk meningkatkan hasil,” tulisnya.
Menurut Kementerian Kesehatan, stunting (kerdil) dapat menyebabkan anak mengalami kemampuan kognitif yang tidak maksimal dan perkembangan fisik bisa terhambat.
Baca Juga: Stunting di Tengah Covid-19, Wapres: Pemerintah Daerah Harus Inovatif
Kondisi rendahnya kapasitas intelektual anak berpotensi menurunkan daya saing dan SDM Indonesia di masa depan. Tak hanya menjadi ancaman bonus demografi, stunting juga berpotensi merugikan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp300 triliun per tahun.
Perlu keseriusan berbagai pihak dalam meningkatkan kompetensi SDM di dalam negeri, meski banyak tantangan yang harus dihadapi. Tapi di balik itu semua, apa saja keuntungan yang bisa diperoleh Indonesia jika memanfaatkan bonus demografi ini secara maksimal?
Keuntungan bonus demografi di Indonesia, antara lain:
Meningkatkan perekonomian
Dalam Ringkasan Eksekutif Visi Indonesia 2045, dalam periode 2016-2045, ekonomi Indonesia mampu tumbuh 5,7% per tahun. Dengan memanfaatkan bonus demografi dan kemajuan teknologi, serta meningkatkan daya saing ekonomi, Indonesia diperkirakan akan menjadi negara pendapatan tinggi pada 2036.
Selain itu, Indonesia akan menjadi negara dengan PDB terbesar ke-5 pada 2045. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusif akan meningkatkan jumlah kelas pendapatan menengah menjadi 70% penduduk pada 2045.
Indonesia Emas
Pemanfaatan bonus demografi menjadi bagian dalam mencapai Indonesia Emas 2045 atau tepat pada 100 tahun usia Kemerdekaan Indonesia. Dengan mengusung Indonesia 2045 Berdaulat, Maju, Adil, dan Makmur, pemerintah menargetkan 4 hal untuk menyongsong Indonesia Emas.
Empat target itu adalah mewujudkan manusia Indonesia yang unggul, berbudaya, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; ekonomi yang maju dan berkelanjutan; pembangunan yang merata dan inklusif; dan negara yang demokratis, kuat, dan bersih.
Meringankan Beban Hidup
Rasio ketergantungan di Indonesia telah menurun sejak akhir 1970-an dan mencapai titik terendah pada 2020-2035. Bonus demografi dapat menurunkan rasio ketergantungan.
Menurut BPS, rasio ketergantungan merupakan salah satu pendekatan untuk mengetahui bonus demografi yang akan berguna bagi pembangunan di bidang kependudukan.
Karena jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk usia nonproduktif, maka beban hidup akan menjadi ringan.
Lalu, bagaimana menyiapkan SDM yang unggul dan kompeten?
GNIK menyebutkan kompetensi SDM semakin dituntut dengan perubahan yang cepat, apalagi dengan fenomena pandemi yang memicu digitalisasi secara lebih masif. Persaingan tidak hanya terjadi antar-perusahaan, melainkan sudah merambah hingga antar-negara.
“Kita akan menghadapi suatu gelombang besar yang disebut bonus demografi dan dependency ratio nanti akan menempati paling rendah itu 2030 jika kita berleha-leha atau memikirkan diri sendiri,” ujar Committe GNIK Yunus Triyonggo.
Baca Juga: International Coaching Summit 2021: ICF Jakarta Ajak Berdayakan SDM Indonesia Hadapi Industri 4.0
Dia meyakini, sektor swasta harus bergerak untuk meningkatkan kompetensi SDM. Yunus mengatakan caranya mudah, yakni dengan membuka pemagangan di perusahaan masing-masing, yang bahkan cukup dua atau tiga orang.
Menurutnya, penggerak dari program pemagangan adalah manager HRD, apalagi ada sekitar 20.000 orang yang memiliki profesi tersebut. Sejauh ini, GNIK telah mencetak hampir 1.000 mentor pemagangan di seluruh Indonesia. Bekerja sama dengan Kementerian Ketenagakerjaan, GNIK memberikan masukan pelaksanaan pemagangan.
“Masukan kalau ingin melaksanakan pemagangan, instrumennya atau instrukturnya harus kuat dulu, karena mereka yang harus menggawangi pemagangan di setiap perusahaan,” ujarnya.
“Jangan sampai ada anak magang bingung mau melakukan apa. Mereka harus sudah jelas selama 6 bulan mau melakukan apa,” imbuh Yunus.