JAKARTA, BERNAS.ID – Pakar mempertanyakan keputusan hakim yang menggunakan alasan caci maki netizen sebagai bahan pertimbangan untuk meringankan hukuman terhadap mantan Menteri Sosial Juliari Batubara. Pakar hukum pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, menilai keadaan yang meringankan terhadap vonis Juliari kurang tepat.
“Barangkali kalau mau dipertimbangkan sebagai adanya hal yang meringankan lebih tepat tentang adanya sanksi sosial yang telah dirasakan oleh yang bersangkutan dan keluarganya,” urai Agustinus seperti dikutip CNN Indonesia, Selasa (24/8).
Kendati demikian Agustinus menambahkan bahwa pertimbangan meringankan atau memberatkan merupakan kewenangan majelis hakim. Dalam hal ini, majelis hakim mengatakan salah satu keadaan yang meringankan vonis yakni Juliari sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dan dihina oleh masyarakat sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukun tetap atau inkrah.
“Secara hukum kita belum memiliki batasan tentang apa saja yang dapat digunakan sebagai alasan yang meringankan maupun memberatkan sehingga sepenuhnya merupakan kebijakan dari majelis hakim,” jelas Agustinus.
Hal senada diungkapkan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, yang mengungkapkan pihaknya baru tahu jika ketidaksenangan publik terhadap pelaku kejahatan bisa digunakan untuk meringankan hukuman. Feri mempertanyakan dasar keputusan majelis hakim dan imbas yang diterima Juliari ketika menerima cacian yang dilontarkan secara daring.
Baca juga: Juliari Kena 12 Tahun, KPK: Efek Jera
“Apakah hakim meneliti betul berapa banyak jumlah cacian publik itu dan bagaimana dampaknya jika cacian itu dilakukan secara daring?” ujarnya. “Saya baru tahu kalau pelaku kejahatan tidak disenangi publik ternyata itu akan berdampak meringankan bagi pelaku kejahatan.”
Feri menambahkan pertimbangan yang meringankan vonis Juliari tersebut tidak masuk akal karena dapat berdampak pada kasus lain di masa depan. Dirinya menilai jika caci maki publik yang anti korupsi kepada koruptor dapat meringankan hukuman, maka koruptor lain pun bisa mendapatkan keringanan yang sama.
“Jika seluruh cacian publik kepada koruptor bisa meringankan, maka seluruh koruptor akan buat mereka dicaci publik yang antikorupsi supaya dapat keringanan,” imbuhnya.
Seperti diketahui sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memvonis Juliari Batubara dengan pidana 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Juliari juga dijatuhi pidana tambahan yakni kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 14,5 miliar subsider 2 tahun kurungan serta pencabutan hak politik selama 4 tahun terhitung setelah masa hukumannya selesai.
Lebih lanjut, fakta persidangan menilai politisi kader PDI Perjuangan tersebut terbukti bersalah karena telah menerima suap senilai total Rp 32 miliar lebih terkait dengan penunjukan penyedia bansos Covid-19.