Dari Mahasiswa Tukang Demo, Menjadi Dosen yang “Menghadapi” Demo
Suherman (41), adalah seorang dosen di Universitas Gadjah Mada. Setelah menempuh pendidikan S-1 dan S-2 di UGM, ia kemudian mengambil S-2 di Technical University Braunschweig (TUBs)-Jerman bidang Kimia Lingkungan dan melanjutkan jenjang S-3 di Hokkaido University-Jepang bidang Ilmu Lingkungan (Environmental Science). Sejak 2006, ia tercatat sebagai dosen di Departemen Kimia FMIPA UGM dengan minat penelitian dan pengajaran di bidang lingkungan, mengampu perkuliahan analisis, remediasi, toksikologi dan kebijakan pengelolaan lingkungan.
Ia berasal dari Ulujami, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, yaitu daerah pesisir pantai utara pulau Jawa. “Jika berbicara tentang Pemalang, sering orang luar Jawa tidak mengenalnya. Ada yang mengira bahwa Pemalang itu Kota Malang, Jawa Timur atau mereka umumnya lebih akrab dengan Kota Pekalongan atau Kabupaten Tegal. Nah, Pemalang itu ada di antara Pekalongan dan Tegal tersebut. Hal yang unik dan menarik dari masyarakatnya kalau makan selalu mencari kerupuk sebagai teman lauk-pauk utama, termasuk saya,” ungkapnya.
“Saya berasal dari keluarga petani-pedagang yang sederhana. Dulu saya bersekolah di SMA Negeri 1 Pemalang. Karena kebetulan saudara laki-laki saya ada dua orang yang juga kuliah di UGM, maka saya pun saat itu berharap bisa masuk UGM. Oleh karena itu, saat ada tawaran masuk salah satu universitas negeri di Jawa Tengah tanpa tes (istilah dulu disebut jalur PMDK), saya dengan berat hati melewatkan kesempatan tersebut dan berjibaku ikut ujian masuk PTN (dengan pilihan UGM) yang saat itu dikenal dengan istilah UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Akhirnya, tahun 1999 masuklah saya menjadi mahasiswa Jurusan Kimia FMIPA UGM. Memilih kimia bukannya tanpa alasan, latar belakangnya karena nilai EBTANAS SMA bidang Kimia saya lumayan tinggi.”
Ia mengungkapkan bahwa selama menjadi mahasiswa, pada tahun kedua, menjadi salah satu pimpinan senat mahasiswa FMIPA UGM. Sejak awal kuliah, ia sudah disibukkan dengan berbagai kegiatan dan kuliah. Tak jarang jadwal rapat organisasi itu berjejalan dengan jadwal kuliah, praktikum, pre-test, responsi, ataupun tugas kuliah kelompok. Berbagai kesibukan tersebut menjadikan ia sosok yang harus pandai mengatur waktu antara kuliah dan organisasi.
“Usia kemahasiswaan saya yang ada di awal 2000-an tentu sangat dipengaruhi masa reformasi 1998. Sebagai aktivis organisasi, yang namanya semangat mengkritisi kebijakan baik internal kampus atau kebijakan pemerintah saat itu terasa menggebu-gebu. Apapun kebijakan yang terasa janggal, tidak tepat, tidak berpihak kepada rakyat kecil atau tidak berkeadilan maka pastilah menjadi sasaran kritik dan target penolakan dari elemen mahasiswa terutama para aktivis baik intra kampus maupun ekstra kampus.”
“Di tahun ketiga, karir organisasi saya meningkat. Saya menjadi salah satu pimpinan dewan perwakilan mahasiswa (DPM, mirip senat mahasiswa) tingkat universitas, bahkan di tahun berikutnya saya menjadi ketua umum DPM KM UGM. Maka pada tahun 3-4 kuliah, bisa dikatakan tahun tersibuk saya menjadi mahasiswa. Saat itu seakan-akan tidak ada habisnya sepanjang hari jadwal kegiatan yang saya ikuti, baik kuliah, praktikum, dan setelahnya langsung ngacir ke sekretariat Keluarga Mahasiswa UGM (KM UGM), kantor BEM dan DPM KM UGM berada untuk koordinasi, konsolidasi dan menjalankan amanat di organisasi mahasiswa.”
Baca juga : Panduan untuk Kamu yang Bimbang Memilih Jurusan S2 yang Tepat
Sebagai pimpinan organisasi mahasiswa di kampus sebesar UGM, tentu ajakan koordinasi dan konsolidasi Gerakan mahasiswa di level daerah Yogyakarta maupun level nasional juga tidak pernah sepi. Apalagi saat itu, otonomi kampus yang melanda PTN besar di Indonesia termasuk UGM juga sedang di masa hiruk pikuk akibat perlawanan mahasiswa atas naiknya SPP yang harus dibayarkan mahasiswa setiap semesternya. Belum lagi keterlibatan organisasi mahasiswa UGM (BEM dan DPM) terkait isu-isu nasional yang saat itu masa kepemimpinan Ibu Megawati Soekarno Putri (setelah selesainya masa Gus Dur).
Ia mengungkapkan bahwa sepanjang pertengahan 2002 hingga pertengahan 2003, setidaknya 40-an kali demonstrasi baik ke dalam kampus atau keluar kampus (isu nasional) pernah diikuti sepanjang 1 tahun masa penugasannya sebagai ketua umum DPM KM UGM. Tentu saat itu, perjuangan aspirasi juga tidak melulu disalurkan lewat demonstrasi di jalanan, namun juga dilakukan dengan dialog akademik, misalnya hearing dalam menyampaikan aspirasi ke Pimpinan UGM.
Dalam pelaksanaan kewajiban sebagai pimpinan organisasi mahawiswa saat itu, ada satu prinsip yang diajarkan dan berusaha selalu ia pegang, “Kita boleh berbeda pandangan dengan pimpinan UGM (rektor, WR, dekan dll), namun beliau semua adalah dosen dan orang tua kita, maka etika dan sopan santun janganlah pernah kita lepaskan dalam memperjuangkan aspirasi mahasiswa.”
Saat itu, meskipun berulang kali dalam forum hearing, rapat di MWA (Majelis Wali Amanat), atau rapat-rapat kritisi kebijakan lainnya saya berbeda pandangan secara tajam dengan rektor dan wakil rektor UGM, namun secara pribadi (personal) ia sangat menghormati dan berusaha tidak bertingkah laku yang kurang pantas terhadap para pimpinan UGM. Hal tersebut membuat kawan-kawannya sesama aktivis saat itu agak heran (sebagian bahkan curiga), karena secara pribadi ia dekat dengan rektor dan para WR UGM, padahal harusnya sebagai ketua lembaga mahasiswa, wajarnya menjadi oposisi rektorat bukan malah akrab.
Dan sikap inipun (memisahkan antara perbedaan pandangan dalam kebijakan dengan perhormatan terhadap personal orang lain) berusaha ia bawa hingga awal 2006 saat diterima menjadi asisten dosen di Jurusan Kimia FMIPA UGM. Setelah menyelesaikan studi S2 dari TU Braunschweig Jerman pada tahun 2009, ia menjadi dosen tetap (PNS) di almamater UGM. Kebetulan saat 2009 itu, rektor UGM adalah Prof. Sudjarwadi. Ia ingat saat tahun 2002-2004 menjadi pimpinan organisasi mahasiswa di KM UGM, beliau adalah salah satu wakil rektor yang sering ia dan kawan-kawan demo.
Lebih lanjut ia bercerita tentang hal yang menarik pada tahun 2010-2011, Rektor UGM (Prof Sudjarwadi) malah memintanya ikut membantu beliau dalam memikirkan kegiatan kemahasiswaan, terutama ikut mendampingi adik-adik aktivis mahasiswa yang ada di BEM KM UGM.
“Mungkin Pak Rektor saat itu berpikir agar saya juga punya pengalaman merasakan posisi berbeda dibandingkan masa-masa mahasiswa dulu. Kalau dulu saat mahasiswa saya yang demo, maka sekarang saatnya saya ikut “mengelola demo” tersebut agar aspirasi mahasiswa bisa disalurkan dengan cara yang baik dan santun, fokus ke substansi aspirasi dan jauh dari anarkisme. Saya mendapat pengalaman bekerja mengurusi urusan sebagai pendemo, sekarang mengelola demo yang kadang merepotkan.”
Meskipun saat ini demo jalanan tidak lagi menjadi tren yang merebak di kalangan mahasiswa (jika dibandingkan di era awal tahun 2000-an), ia tetap terlibat di pendampingan kegiatan kemahasiswaan selain tugas utama sebagai dosen di FMIPA UGM. Dengan banyaknya kegiatan kompetisi bidang penalaran, kreativitas, kewirausahaan di level nasional dan internasional, maka semakin banyak mahasiswa yang tertarik untuk mengisi waktunya (selain kuliah) dengan aktivitas kompetisi mahasiswa.
Baca juga : 6 Beasiswa untuk Kuliah di Amerika Serikat
Saat ini, Suherman juga menjadi bagian di Direktorat Kemahasiswaan UGM (DITMAWA UGM), ia bersama dosen pembina kemahasiswaan lainnya berusaha menyiapkan tim-tim kompetisi bidang penalaran, kreativitas dan kewirausahaan mahasiswa baik dari sisi mental dan teknis agar tampil baik dan berprestasi di setiap kompetisi tersebut.
“Pada akhirnya, kita akan secara utuh memahami suatu persoalan dan kondisi manakala kita mampu memosisikan diri kita pada banyak peran dan sudut pandang. Orang yang banyak pengalaman dapat memperkaya alternatif-alternatif penanganan berbagai urusan.”
Sampai jumpa lagi suatu saat di masa Indonesia Modern dengan rakyat cerdas merata, sehat jiwa raga, dan sejahtera serta berbahagia. (Intan Auvia reporter dan suka mempelajari channel YouTube Sudjarwadi Ugm, Whatsapp : +62 858-7768-1197).