BERNAS.ID – Berangkat dari cita-cita besar untuk mewujudkan kedaulatan pangan, PT Ternaknesia Farm Innovation lahir untuk membantu permasalahan pangan dengan merangkul peternak rakyat di daerah.
Jika mengetikkan Ternaknesia pada mesin pencarian di internet, maka kita akan menemukan penjelasan tentang platform digital untuk solusi peternakan.
Sudah lebih dari 10.000 pengunduh aplikasi ini di Play Store. Aplikasi ini menawarkan fitur TernakInvest, yang akan membantu para peternak menemukan investor, yaitu para pengguna aktif Ternaknesia.
Skema peer-to-peer lending ini memungkinkan masyarakat menjadi investor di sektor peternakan. Melalui aplikasinya, Ternaknesia menawarkan return of investment yang bervariasi pada setiap proyeknya, mulai dari 2-3%, 4-6%, 10-13%, 22-26%, 36-42%, dan sebagainya.
Baca Juga: Cuan di Tengah Pandemi: Sertiva, Startup Sertifikat Digital (Bagian 1)
Kemudian, ada fitur SmartQurban untuk memfasilitasi pembelian hewan kurban secara praktis, dan menggandeng peternak lokal di seluruh Indonesia. Ada juga fitur TernakMart yang menawarkan kebutuhan pangan, terutama protein di wilayah Surabaya, Jawa Timur.
Bermarkas di Jalan Diponegoro No.60, Darmo, Kecamatan Wonokromo, Kota Surabaya, Ternaknesia dirintis juga untuk memberdayakan para peternak agar sejahtera, sekaligus meningkatkan minat generasi muda untuk bertenak.
Di balik lahirnya Ternaknesia, ada seorang pria bernama Dalu Nuzlul Kirom. Dia adalah Founder dan CEO PT Ternaknesia Farm Innovation.
Jika flashback ke belakang lagi, kita akan mengetahui Dalu sebagai penggagas Kampung Dolly Harapan. Sejumlah penghargaan diraihnya karena aksinya mengubah Gang Dolly di Surabaya sebagai tempat yang penuh harapan dan bermartabat.
Sebagai sociopreneur, dia banyak berkumpul dengan kawan-kawan dengan berbagai latar belakang dalam sebuah forum bernama Putra Daerah Membangun.
Suatu ketika dalam sebuah forum pada 2016, Dalu bertemu dengan anak peternak dari Lumajang, Jawa Timur. Pada forum yang berbeda, dia juga berjumpa dengan anak peternak dari Banten.
Keduanya mengungkapkan permasalahan yang sama, yakni kurangnya minat anak muda untuk beternak, kurangnya akses suplai dan inovasi, serta terbatasnya permodalan dan pasar yang akan menampung hasil panen.
“Saat itu saya punya software house, akhirnya dari diskusi itu kemudian muncil ide Ternaknesia. Bagaimana kalau digitalisasikan aspek peternakan ini. Dimulai dari membantu penjualan pada 2015,” katanya kepada Bernas.id.
Selanjutnya, muncul ide berjualan hewan kurban melalui online, meski tetap melayani lewat offline. Hasil dari gagasan awal ini bisa dibilang lumayan sehingga memicu Dalu untuk melakukan hal yang lebih besar.
Modal Awal dari Orang Sekitar
Dalam setiap perintisan bisnis, tentu perlu modal yang kini, menurut Dalu, lebih mudah didapatkan. Beda cerita ketika dia memulai startup-nya. Mula-mula, pria lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) ini mengumpulkan modal dari teman-teman SMA dan kuliah.
Baca Juga: Tumbasin: Merintis Aplikasi Belanja di Pasar Tradisional Berawal dari Pesan WhatsApp (Bagian 1)
Pada 2015, modal awal terkumpul Rp150 juta untuk menjalankan bisnis kurban. Setelah berhasil, Dalu ingin mengulangi hal serupa dengan skala yang lebih besar. Maka terkumpulah Rp675 juta dalam 5 jam hanya melalui pesan WhatsApp.
“Cuma aktivitas utama saya dulu di Dolly. Pada 2014 sampai 2017 saya sangat fokus di Dolly. Kemudian di 2017, saya lepas (Dolly), saya serahkan ke tim teknis. Lalu, saya fokus di Ternaknesia,” ucapnya.
Pada 2017, Dalu melakukan pendekatan kepada peternak-peternak untuk mengetahui lebih dalam masalah yang mereka hadapi. Hasilnya, rata-rata mereka mengaku kesulitan di aspek permodalan.
“Di sisi lain, saya merasa ada kelebihan tadi, mengumpulkan dana asalkan dipercaya ternyata bisa ya. Kebetulan latar belakang saya adalah aktivis, di ITS, SMA juga Ketua OSIS, lebih ke arah kepercayaan personal,” kata Dalu.
“Dengan ide dan potensi yangsaya punya, itu membawa saya memiliki PT Ternaknesia pada 2017, dengan fitur pertamanya crowd funding, untuk permodalan membantu peternak,” imbuhnya.
Dalu tidak menyia-nyiakan kepercayaan yang dia peroleh dari orang sekitar. Dia mewujudkannya dalam sebuah platform digital untuk mengatasi permasalahan para peternak.
Membuka Akses Pasar
Jika solusi permodalan telah terpecahkan, bukan berarti tidak ada persoalan lain. Beberapa peternak yang dijangkau oleh Ternaknesia mengalami “kegagalan” karena pembeli yang tidak bertanggung jawab.
Dari situ, Dalu berkesimpulan untuk mendampingi para peternak hingga level pasar, artinya turut serta membuka akses pasar agar peternak bisa menjual hasil ternak.
“Dengan saya mencairkan modal dan mengontrol permodalan, ternyata nggak cukup. Ternyata pasar mereka nggak mature. Akhirnya kami bikin aspek pasarnya juga melalui aplikasi,” katanya.
Baca Juga: MomWork: Aplikasi Digital untuk Berdayakan Perempuan dari Dapur Rumah
Maka lahirlah fitur baru di aplikasi Ternaknesia, dari semula menawarkan Ternakinvest, kemudian SmartQurban.
“Kurban yang kita kelola berhubungan dengan hasil panen teman-teman peternak. Jadi yang kita invest, kita upayakan untuk kita juga ambil, atau carikan pasar. Jadi outtaker-nya kita, walaupun sebagian mereka,” tuturnya.
Namun, momen Idul Adha hanya berlangsung sekali dalam setahun. Padahal, akses pasar harus dibuka setiap hari. Dari situ, muncullah fitur TernakMart yang membantu penjualan produk harian seperti daging, susu, dan telur.
Ternaknesia berkembang dari tim kecil yang terdiri dari lima orang menjadi lebih dari 60 orang. Sementara, peternak jaringan yang dirangkul sudah mencapai lebih dari 1.500 peternak.
Jumlah pengguna aktif total lebih dari 12.000, yang terdiri dari mereka yang pernah berinvestasi, berkurban, dan konsumen TernakMart.
Jumlah dana yang dikelola hingga saat ini mencapai Rp55 miliar, dengan aspek pendanaan yang berbeda-beda, seperti untuk pemeliharaan, proyek kurban yang berlangsung 3-6 bulan, dan pendanaan untuk dagang.
Peternakan dalam Angka
Melihat inovasi yang dilakukan oleh putra bangsa untuk kesejahteraan bersama, sebenarnya bagaimana kondisi peternakan rakyat di Tanah Air saat ini?
Hasil Survei Pertanian Antar Sensus 2018 (SUTAS2018) dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada 2020 menyebutkan, jumlah rumah tangga peternakan di Indonesia mencapai 13,56 juta rumah tangga.
Pada 2014, populasi sapi potong di Indonesia sebesar 14,7 juta ekor dan terus bertumbuh hingga mencapai 17,1 juta ekor pada 2019. Namun pada 2020, jumlahnya diprediksi menurun 1,76%.
Populasi kambing di Indonesia pada 2013 tercatat 13,6 juta ekor dan bergerak perlahan hingga mencapai 15,3 juta ekor pada 2020. Secara regional, populasi kambing tertinggi berada di Pulau Jawa, dengan Provinsi Jawa Timur yang paling banyak memiliki ternak kambing sekitar 4,13 juta ekor.
Meski begitu, kedaulatan pangan belum terlihat karena ketersediaan daging masih defisit. Pada 2020, ketersediaan daging sapi dan kerbau di Indonesia masih mengalami defisit sebesar 294,62 ribu ton.
Baca Juga: Rapel: Ketika Sampah Disulap Jadi Bernilai Melalui Aplikasi Digital
Defisit ini disebabkan rendahnya produksi daging sapi dan kerbau yakni sebesar 422,53 ribu ton. Sementara, kebutuhan akan daging sapi dan kerbau sebesar 717,15 ribu ton.
Defisit tertinggi terjadi di Jawa Barat sebesar 151,31 ribu ton. Menurut BPS, provinsi dengan populasi penduduk tertinggi di Indonesia ini ternyata tidak didukung dengan ketersediaan produksi daging sapi dan kerbau yang mencukupi untuk konsumsi sekitar 49 juta jiwa penduduk.
Di sisi lain, beberapa provinsi mengalami kelebihan produksi atau surplus yang cukup besar terutama di Jawa Timur sebanyak 18,85 ribu ton.