YOGYAKARTA, BERNAS.ID – Sebagai makanan rakyat, tempe tidak pernah ketinggalan tersaji dalam meja makan atau warung makan, bahkan restoran di Indonesia.
Ya, tempe adalah bahan pangan yang mampu masuk ke semua kalangan masyarakat. Sebuah organisasi bernama Forum Tempe Indonesia (FTI) mengusulkan 6 Juni sebagai peringatan Hari Tempe Nasional.
Bukan tanpa alasan forum ini mengajukan tanggal tersebut, karena ternyata hari itu bertepatan dengan hari lahir Bapak Proklamator kita, Soekarno.
Presiden Soekarno memang begitu menyukai makanan satu ini. Istri Soekarno, Fatmawati, menyebut sang suami gemar mengonsumsi tempe goreng.
Baca Juga: Misteri Lonjakan Harga Kedelai, yang Mencekik Para Pengrajin Serta Pedagang Tahu dan Tempe
Tempe merupakan produk makanan yang berasal dari fermentasi kacang kedelai. Dalam laporan Badan Standarisasi Nasional (BSN) berjudul “Tempe: Persembahan Indonesia untuk Dunia”, tempe telah dikonsumsi sejak berabad-abad silam oleh masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta.
Sejarah Tempe
Masih dari laporan BSN, kata “tempe” diyakini berasal dari bahasa Jawa Kuno. Dulu, masyarakat Jawa juga mengonsumsi makanan dari tepung sagu yang berwarna putih dan menyebutnya “tumpi”. Makanan itu memiliki kesamaan dengan tempe segar yang juga berwarna putih.
Laporan khusus berjudul “History of Tempeh” tentang sejarah makanan kedelai fermentasi tradisional oleh William Shurtleff dan Akiko Aoyagi, menyebut tempe merupakan makanan unik dan satu-satunya yang tidak original berasal dari China atau Jepang.
Seperti diketahui, banyak makanan tradisional dari China yang berbahan baku dari kedelai, seperti tahu, kecap, dan tauco. Tapi tempe bukan berasal dari Negeri Tirai Bambu itu. Tempe adalah makanan tradisional dari Indonesia.
Tempe muncul dalam Serat Centhini, yang kemungkinan ditulis sekitar tahun 1815. Manuskrip itu menyebutkan kalau terdapat hidangan bernama jae santen tempe atau masakan tempe dengan santan dan kadhele tempe srundengan.
Walau Serat Centhini ditulis pada 1815, kemungkinan ceritanya berasal dari masa pemerintahan Sultan Agung pada 1613-1645. Jadi, kemungkinan tempe sudah ada sejak tahun 1600-an.
Tempe menyebar ke berbagai negara. Imigran asal Indonesia di Belanda memperkenalkan tempe kepada masyarakat Eropa. Menurut BSN, tempe cukup populer di beberapa negara Eropa sejak 1946. Tempe makin mendunia sejak 1984, di mana terdapat perusahaan tempe di Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang.
Tempe dan ironi
Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan Survei Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2018 menyebutkan, konsumsi tempe di Indonesia mencapai 625gram/bulan (per kapita).
Meski kebutuhan akan tempe di Indonesia tidak pernah padam, namun bahan pangan satu ini pernah mengalami kelangkaan. Bahkan baru-baru ini, tahu dan tempe di sejumlah daerah dilaporkan jarang ditemukan.
Baca Juga: Inilah Penyebab Harga Kedelai Meningkat, Mengakibatkan Pengrajin Tahu Tempe Resah
Pada awal tahun ini, harga kedelai impor meroket membuat perajin tempe dan tahu memilih untuk mogok produksi. Kenaikan harga kedelai akan mengerek harga tahu dan tempe menjadi lebih mahal.
Sebagai negara kedua di dunia yang paling banyak mengonsumsi kedelai setelah China, Indonesia masih punya PR untuk menyelesaikan kenaikan harga bahan baku yang kaya protein itu.
Impor kedelai Indonesia pada semester I/2020 tercatat mencapai 1,27 juta ton. Pada awal 2021, Kementerian Pertanian memperkirakan impor kedelai tahun ini bakal mencapai 2,6 juta ton.
Impor hingga Maret 2021 direncanakan mencapai 650.000 ton, dengan perkiraan produksi dalam negeri pada periode yang sama sebanyak 28.754 ton.
Sebagai negara yang gemah ripah loh jinawi, Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri. Ketergantungan terhadap impor kedelai membuat kita tidak bisa berkutik ketika harga kedelai dunia mengalami kenaikan.
Tapi di sisi lain, kita harus berbangga karena tempe dari Jawa Tengah telah ditetapkan sebagai Warisan Takbenda Indonesia pada 2017. Saat ini Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif akan mendaftarkan tempe sebagai warisan kuliner budaya dunia UNESCO.