Bernas.id — Meskipun sudah lebih dari satu tahun sebagian besar nitizen atau warga Jogja, pasti belum banyak yang mengetahui, bahwa Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai warisan dunia ke UNESCO. Hal itu, tepatnya terhitung sejak tanggal 14 Maret 2017 Historical City Centre of Yoyakarta telah masuk ke dalam Daftar Sementara (Tentative List) UNESCO.
Sumbu Filosofi adalah konsep penataan ruang Kraton Yogyakarta yang merupakan perwujudan dari simbul daur hidup manusia yang diciptakan oleh Sutan Hamengku Buwana I. Daur hidup manusia yang berupa kelahiran (sangkan), pernikahan (kedewasaan), dan kembali kepada Sang Pencipta (paran) atau bisa disebut sebagai Sangkan Paraning Dumadi (asal dan tujuan dari ada).
Konsep tiga ritus utama daur hidup manasuia ini diwujudkan dalam tata ruang Kraton Yogyakarta yang berbentuk warisan budaya arsitektur, yaitu Panggung Krapyak, Kraton Yogyakarta, dan Tugu Pal Tugu Putih Yogyakarta.
Sebagai ilustrasi filosofi Sangkane Dumadi (awalnya ada) yaitu poros Panggung Krapyak menuju Kraton Yogyakarta, sedangkan filosofi Paraning Dumadi (tujuan hidup), merupakan poros dari Kraton Yogyakarta menuju Tugu Pal Putih Yogyakarta. Panggung Krapyak menggambarkan posisi janin/ bayi ketika berada di dalam kandungan dan Tugu menggambarkan konsepsi ketuhanan.
Panggung Krapyak adalah sebuah bangunan bersejarah berbentuk ruangan menyerupai kubus. Pada masa Kesultanan Mataram, Panggung Krapyak digunakan oleh raja-raja Mataram sebagai tempat pengintaian untuk berburu binatang, khususnya rusa atau menjangan. Oleh karena itu, masyarakat sekitar sering menyebut Panggung Krapyak dengan sebutan Kandang Menjangan.
Secara administratif bangunan yang didirikan tahun sekitar 1760 oleh Sultan Hamengku Buwana I, tersebut terletak di Kampung Krapyak, Kelurahan Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul. Dan berdasarkan lokasinya, Panggung Krapyak berada di sebelah selatan Kraton Yogyakarta, berjarak kurang lebih satu kilometer dari Alun-alun Selatan.
Sementara Tugu Pal Putih Yogyakarta yang sebelumnya bernama Tugu Golong Gilig juga merupakan karya Sultan Hamengkubuwana I. Setelah runtuh akibat gempa yang melanda Yogyakarta, tugu yang terletak di perempatan Jalan Jenderal Sudirman – Jalan P. Diponegoro, Jalan Marga Utama (d/h. Pangeran Mangkubumi) – Jalan AM. Sangaji ini dibangun kembali oleh Belanda, dengan bentuk seperti sekarang ini yang juga sering disebut sebagai Tugu Pal Putih.
Bagi para nitizen yang menginginkan lihat bentuk tugu semasa disebut Tugu Golong Gilig, maupun sketsa diorama Sumbu Filosofi dalam bentuk miniaturnya ada sebelah pojok tenggara lebih kurang 20 meter dari lokasi tugu yang sekarang ini.
Karya penuh filosofi dan setrategis apabila ditarik keluar lurus ke utara akan menunjuk keberadaan Gunung Merapi dan ke selatan menunjuk ke lautan selatan Samudera Indonesia, dengan diapit oleh empat sungai di sisi timur Sungai Code dan Sungai Gajah Wong, sebelah sisi barat Sungai Winongo dan Sungai Bedog.
Sebuah karya yang adi luhung dari Hamengkubuwana I, yang memadukan antara nilai filosofi kehidupan, pembangunan ekonomi, dan strategi keamanan (militer) yang patut kita banggakan. Sungguh sangat disayangkan jika generasi sekarang yang juga disebut sebagai generasi milenia sampai tidak mengetahui peninggalan yang menjadi monumen saksi sejarah bangsa Indonesia. (berbagai Sumber/ ted)