Bernas.id– Cerita banjir Jakarta sudah lama diperdengarkan. Namun, kisahnya masih berlanjut hingga kini. Banjir besar rutin terjadi di Jakarta. Setiap 5 tahun kawasan ibukota selalu dilanda banjir besar.
Tahun 1996 banjir melumpuhkan kota Jakarta. Ketinggian air setinggi tujuh meter. 30 ribu orang terpaksa mengunsi dari rumahnya. Tahun 2002 banjir besar kembali terjadi. Kini melumpuhkan jantung kota Jakarta. Kawasan bundaran HI terendam. Hal ini diakibatkan curah hujan yang tinggi pada bulan Februari 2002. Tahun 2007 banjir besar kembali melanda. Kali ini sangat parah. Hampir semua bisnis di Jakarta lumpuh total. 60 persen jalan di ibukota terendam banjir. Anak-anak berhenti bersekolah selama beberapa hari. Bahkan beberapa gardu listrik dimatikan.
Kini, dengan cuaca yang tidak menentu, hampir sepanjang tahun Indonesia diguyur hujan. Namun curah hujan tertinggi berlangsung selama bulan Januari dan Februari. Kondisi ini diperparah dengan adanya longsor di kawasan bogor dan meluapnya bendungan katulampa. Pemerintah bukannya tinggal diam. Namun, upaya pemerintah belum didukung kesadaran warga Jakarta seluruhnya.
Dilansir dari harian New York Times, Jakarta disebut sebagai the fastest sinking city. Sang fotografer memotret titik merah yang ada di Jakarta pada kurun waktu 1984-1991. Beberapa titik merah menandakan daerah yang lahannya turun lebih dari 2 inci per tahun. Potret tahun 2010-2015 menunjukkan semakin banyak titik merah menyebar di wilayah Jakarta, terutama di bagian Jakarta Utara. Jakarta dengan cepat tenggelam. Semakin lama ketinggian permukaan air tanah semakin tinggi.
Beberapa hal yang menyebabkan hal ini terjadi adalah ketersediaan lahan terbuka hijau yang menipis karena digerus pembangunan baik perumahan, hunian apartemen, sampai pertokoan. Jakarta hanya mempunyai 10% ruang terbuka hijau (RTH) . Sedangkan menurut peraturan Subdit. Pedoman Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum tahun 2009, proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat. Penduduk yang tinggal di bantaran kali dan menghambat aliran kali juga merupakan salah satu penyebabnya.
Ini membuat Jakarta semakin lama semakin tenggelam dengan cepat. Bukan tidak mungkin Jakarta akan menjadi the next Amsterdam. Kota yang berada di bawah ketinggian permukaan air laut. Masalahnya apakah Jakarta sudah menyiapkan diri untuk menghadapi kota yang tenggelam dan sudah mengantisipasinya seperti Amsterdam? Nampaknya masih butuh kerja keras, kerja cerdas, dan kerja cepat kita semua.
Referensi: www.nytimes.com – tempo.metro.co – www.penataanruang.com