Bernas.id – Ada yang berpendapat bahwa mengatakan 'jangan' pada anak akan membatasi kreativitas si kecil. Namun jika dalam konteks yang tepat maka sah-sah saja orang tua berkata 'jangan' pada anaknya. Bisa jadi larangan memang harus diberikan untuk menghindarkan anak dari hal-hal yang membahayakan.
“Banyak yang bilang, psikolog bilang orang tua itu nggak boleh mengatakan jangan kepada anaknya. Padahal boleh saja orang tua mengatakan jangan, jika memang anak tidak bisa dialihkan,” tutur psikolog anak dan remaja, Ratih Zulhaqqi dalam perbincangan dengan detikHealth dan ditulis pada Jumat (24/7/2015).
“Karena konsepnya itu sebenarnya anak diberi peluang untuk mengeksplorasi, tapi tetap diawasi. Contohnya saat naik di meja kaca, apakah anak akan dibiarkan begitu saja? Karena mejanya rentan pecah, dan anak bisa saja terluka,” sambung wanita berhijab ini.
Dikutip dari www.sunnahcare.com ada kekeliruan dalam buku atau teori pendidikan, yaitu “Melarang penggunaan kata 'jangan' secara sering”. Salah seorang pendidik pernah berkata, “Pintu terbesar yang paling mudah dimasuk oleh Yahudi adalah 2, yaitu dunia psikologi dan dunia pendidikan”.
Berikut “kekeliruan” pada buku-buku pendidikan, seminar, teori pendidikan, dan lainnya yang kadang sudah menjangkiti beberapa para pendidik muslim, para ayah dan ibu:
1. Kata 'jangan' akan memberikan nuansa negatif dan larangan dari kita sebagai orang tua, maka dari itu coba untuk mengganti dengan kata yang lebih positif dan berikan alasan yang dapat diterima anak. Nah, inilah syubhat (keraguan). Larangan kata 'jangan' apakah ini punya landasan dalam Alquran dan hadis? Justru lebih dari 500 kalimat dalam Alquran memakai kata 'jangan'. Allahu Akbar, banyak sekali!
2. Mengatakan kata 'jangan' bukan tindakan preventif (pencegahan).
Pada surat Luqman ayat 12-19. Dibuka dengan penekanan Allah bahwa Luqman adalah orang yang diberi hikmah, orang arif yang secara tersirat bahwa kaum muslim diperintahkan untuk meneladaninya. Ayat 13 lebih tegas menceritakan bahwa Luqman itu berkata kepada anaknya, ?Wahai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah. Sesungguhnya syirik itu termasuk dosa yang besar?. Inilah bentuk tindakan preventif yang divaliditas dalam Alqur'an.
Luqman tidak perlu mengganti kata ?Janganlah menyekutukan Allah? dengan (misalnya) ?Esakanlah Allah?. Begitu juga dengan ?Laa? yang lain, dia tidak diganti dengan kata-kata kebalikannya yang bersifat anjuran. Mengapa Luqmanul Hakim tidak mengganti kata 'jangan' dengan “diam/hati-hati”? Karena ini bimbingan dari Allah. Perkataan 'jangan' akan mudah dicerna oleh anak, sebagaimana penjelasan Luqman Hakim kepada anaknya.
Dan perkataan jangan juga bermakna positif, tidak mengandung arti negatif. Ini semua adalah bimbingan dari Allah. Adakah pribadi psikolog atau pakar parenting pencetus teori ?modern? yang melebihi kemuliaan dan senioritas Luqmanul Hakim? Luqman bukan Nabi, tetapi namanya diabadikan oleh Allah dalam Alquran karena ketinggian ilmunya.
Membuang kata 'jangan' membuat anak merasa dimanja oleh pilihan yang serba benar. Anak-anak hasil didikan tanpa 'jangan' berisiko tidak memiliki sense of syariah dan keterikatan hukum. Mereka akan bisa tidak peduli lagi dengan kemaksiatan yang bertebaran, tidak perhatian lagi dengan “amar ma'ruf nahi mungkar“, tidak ada lagi minat untuk mendakwahi manusia.