Bernas.id ? Sebagai orang tua yang memiliki buah hati yang sudah tidak lagi bayi, tentu Anda masih terbayang ketika menggendong sang buah hati di malam hari. Menyuapinya, kemudian mengajarinya berjalan. Rasanya sangat menyenangkan dapat membantu anak-anak Anda berkembang. Orang tua tentu ingin anaknya berada pada lingkungan yang nyaman dan aman baginya. Memberi anak perlindungan yang diperlukannya.
Tapi yang sering luput dari perhatian sebagian besar orang tua adalah tahapan perkembangan anak. Secara bertahap anak mulai diminta untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Ketika anak sudah mulai belajar berbicara, tahapan ini diperkenalkan. Maria Montessori, pakar pendidik yang terkenal dengan pendidikan taman kanak-kanak mengajarkan life skills. Anak diajarkan mengancingkan baju sendiri, memegang gelas dari bahan pecah belah dalam ukuran mini, menyapu, sampai mengikat tali sepatu.
Ketika anak beranjak di usia 6-12 tahun, kadang orang tua masih membantu hal-hal yang sudah bisa dilakukan anak sendiri. Masih membantu memandikan, menyiapkan buku, menyiapkan makanan, memakaikan sepatu. Wajar jika anak tidak merasa butuh menyelesaikan masalahnya sendiri. Ia merasa bahwa hal yang seharusnya dilakukannya adalah urusan orang tuanya. Tidak hanya dibantu fisik, anak bahkan dibantu berpikir. Dibuatkan PR-nya, dibantu tugasnya, tidak pernah diminta mengambil keputusan sendiri. Sehingga, ketika tiba saatnya kreativitas dan kemampuan menyelesaikan masalah dibutuhkan, anak tidak dapat memikirkan solusinya.
Higher Order Thinking (HOT)
Kemampuan berpikir tingkat tinggi atau yang Anda sebut Higher Order Thinking (HOT) merupakan salah satu cara mengatasi hal ini. HOT diperkenalkan oleh pakar pendidikan Benjamin S. Bloom. Ia membuat tingkatan level berpikir anak yang disebutnya Cognitive Domain. HOT adalah serangkaian proses berpikir yang menuntun mereka menyelesaikan masalah. Level yang paling rendah adalah level pengetahuan. Belajar dianalogikan sebagai ?tahu apa? bukan ?bisa apa?. Anak sekadar tahu bahwa peristiwa perang Diponegoro tahun 1920, namun tidak diajarkan memaknai arti perang Diponegoro.
Level yang kedua adalah anak memahami. Memahami yang dijelaskan oleh orang lain. Anak paham, namun belum tentu bisa melakukan. Tahapan selanjutnya adalah tahapan mengaplikasikan. Ketika tahapan ini, anak mulai berpikir memecahkan masalah. Dari sesuatu yang dilihat dan dibacanya, ia berusaha mengaplikasikan konsep itu ke kehidupan sehari-hari. Yang perlu diingat orang tua adalah konsep jangan terlalu cepat mengulurkan bantuan. Ketika anak menemukan masalah, biarkan anak mencoba memecahkan masalahnya dulu. Tidak apa-apa kalau anak melakukan kesalahan. Karena kesalahan adalah proses dari pembelajaran.
Satu tingkat di atas pengaplikasian adalah level analisa. Saat menemukan masalah, anak akan mencoba berbagai cara. Jika Anda bersabar, dia akan masuk ke tahapan menganalisa masalah, memikirkan solusi dan munculnya ide baru. Tahapan selanjutnya anak akan mengevaluasi sendiri hasil kerjanya. Misalnya anak membuat kapal. Ia mempunyai ide menaruh batu-batu besar di dalamnya yang dianggapnya penumpang. Ternyata kapal itu tenggelam. Diangkatnya kapal itu lagi dan perlahan diletakkan. Tapi tetap tenggelam. Apa yang salah? Sang Ibu dengan sabar menemani. Saat anaknya ingin dibantu, sang Ibu hanya memberikan sedikit petunjuk yaitu meminta anak membaca lagi konsep terapung dan tenggelam. Setelah membaca, anak menganalisa bahwa kapal mungkin terlalu berat. Dicobanya turunkan satu dua batu. Kapal masih tenggelam. Dikuranginya lagi batu sampai hanya tersisa dua batu. Kapal kini dapat mengapung. Saat anak menyimpulkan bahwa kesalahannya adalah meletakkan beban terlalu berat pada kapal, itulah yang dinamakan tahap evaluasi.
Tahapan yang tertinggi ketika anak sampai tahapan membuat suatu karya. Dalam kasus sang anak mungkin dia dapat membuat kapal baru yang mudah mengapung dengan banyak penumpang. Jenis batuannya yang harus disesuaikan.
Tidak cepat membantu dan menuntun anak, bukanlah tanda bahwa Anda tidak menyayanginya. Ini adalah tanda bahwa Anda sedang mempersiapkan anak untuk menghadapi dunia yang masa depannya tidak menentu. Kemampuan berpikir ini akan mempersiapkan anak untuk menghadapi tantangan masa depan.