HarianBernas.com – Setiap kali masyarakat Tionghoa di belahan bumi ini akan memperingati tahun baru Imlek, setiap kali pula penulis merasakan atmosfir yang begitu kental. Sebuah peringatan tahun baru yang telah diwariskan sejak ribuan tahun lalu.
Seperti tradisi leluhurnya, Imlek selalu diperingati dengan penuh nuansa khas imlek. Dalam konteks pergaulan saya, ada pertanyaan yang selalu menggelitik pikiran dari beberapa orang teman yaitu, “kenapa ya setiap kali mau peringatan imlek selalu diwarnai dengan cuaca yang sedikit ekstrim (hujan dengan intensitas tinggi)?”.
Walau pertanyaan ini sebenarnya jadi pertanyaan dalam hati saja. Salah seorang sahabat Tionghoa yang dekat dengan saya pernah sedikit berkelakar bahwa cuaca dan hujan itu adalah simbol kemakmuran.
Baca juga: Mengenal Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Keraton Yogyakarta)
Namun, sampai dengan saat ini saya belum bisa mendapatkan jawaban ilmiah tentang hal ini. Seingat saya ada juga imlek yang tidak diikuti dengan hujan atau cuaca ekstrim bahkan yang ada adalah cuaca panas, cuma lupa kapan terjadinya.
Hari imlek selalu dilengkapi dengan beberapa ciri khas atmosfirnya, kue keranjang (semacam dodol), Jjeruk kimkit, ikan dingkis, dan tentu saja angpao. Beragam hiasan Imlek seperti lampion gantung serta ornamen ruangan yang didominasi dengan warna merah sudah ramai menghiasi berbagai pusat perbelanajaan atau keramaian dan perkantoran.
Selama 15 hari Imlek, masyarakat Tionghoa selalu mengucapkan salam “Gong Xi Fa Chai, Sin Chun Gong Xi, Tian Fu Tian Sho, Wan Shin Ru Yi.” Sebuah salam yang melambangkan persahabatan antar sesama umat manusia yang hidup di atas dunia ini.
Wahyu Effendi Direktur Eksekutif Yayasan Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi (GANDI), sekaligus penulis opini dan buku tentang sosial, politik dan hukum (HAM). Ia mengemukakan bahwa sekalipun Imlek merupakan ekspresi tradisi yang dirayakan di seluruh dunia.
Namun, bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia perayaan Tahun Baru Imlek memiliki makna yang khas dalam pasang surut sejarah keberadaan masyarakat Tionghoa. Ini juga sekaligus sarat akan nilai keberagaman yang mencerminkan spirit Kebangsaan Indonesia seperti yang diwariskan oleh para pendiri bangsa, yang diingatkan kembali oleh Gus Dur.
Imlek beberapa waktu lalu rasanya harus menyentuh keterpanggilan solidaritas kita sebagai warga bangsa. Betapa tidak, tahun ini telah diawali dan diwarnai oleh musibah yang dialami oleh negeri ini, mulai dengan musibah erupsi gunung sinabung, kapal tenggalam, tanah longsor dan musibah banjir yang terjadi di mana-mana tidak hanya di sekitar Ibukota Jakarta.
Melalui ragam media (baik elektronik, media online maupun cetak) kita melihat, mendengar, dan membaca bahwa awal tahun ini, banyak kota di pulau Jawa, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, Papua bahkan Ibu Kota, lumpuh karena banjir.
Bahkan Presiden menyampaikan bahwa ini Bencana Nasional yang harus dihadapi dan dibuatkan langkah komprehensif jalan keluarnya.
Di beberapa kota, proses belajar mengajar peserta didik terpaksa diliburkan karena lingkungan sekolah mereka kebanjiran. Fasilitas publik banyak yang rusak dan hancur. Tak terhitung lagi kerusakan dan kerugian material/infrastruktur dan nonmaterial yang harus ditanggung, bahkan tidak sedikit korban jiwa berjatuhan.
Belum lagi pulih dari kesedihan yang diakibatkan oleh musibah erupsi gunung dan banjir, telah diberitakan lewat media pula bahwa berbagai macam penyakit telah mengintip pasca surutnya genangan banjir dan erupsi gunung sinabung. Banyak orang terserang penyakit kulit, diare, flu, tifus, infeksi saluran pernapasan atas, demam berdarah dengue (DBD), termasuk penyakit leptospirosis yang ditularkan melalui kotoran dan air kencing tikus.
Baca juga: Memahami Pentingnya Integrasi Nasional dan Faktor Pembentuknya
Dirangkum menjadi satu, semua bentuk keprihatinan bangsa itu seolah-olah disodorkan ke hadapan kita, bersamaan dengan Imlek; yaitu hari ketika masyarakat Tionghoa bersyukur atas kemelimpahan berkat-Nya. Sejatinya Imlek yang tepat untuk merenungi makna kemenangan, keberhasilan, dan kesuksesan yang sesungguhnya.
Betapa luar biasanya apabila kita bersama-sama dapat memperingati Imlek dengan solidaritas bangsa di tengah terjadinya musibah negeri ini. Sudah saatnya warga Tionghoa dan seluruh elemen warga Indonesia bahu membahu membangun bangsa dengan tidak memandang perbedaan suku. Pesan ini mungkin terdengar begitu klasik, namun hanya dengan kesatuanlah hambatan bangsa di depan mata dapat ditangani.
Berbagi Rasa…
IMLEK dapat dijadikan sebagai salah satu wahana yang tepat untuk menumbuhkan, mengembangkan, dan mengasah rasa kepekaan sekaligus kepedulian sosial (solidaritas) kita sebagai satu saudara, sebangsa dan setanah air. Di samping itu, relasi antar insan pun bisa makin dipererat melalui momentum Imlek.
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai dan semangat persaudaraan, dan yang menempatkan budaya gotong royong sebagai budaya bangs. Maka melalui Imlek tahun ini yang hadir bersamaan dengan belum usainya rentetan musibah. Kita seperti kembali disapa dan diingatkan supaya sudah selayak dan sepantasnyalah untuk turut ambil bagian dalam meringankan beban saudara-saudara kita yang saat ini masih dililit kesusahan dan tertimpa berbagai musibah.
Justru melalui kesediaan untuk berbagi inilah, kekayaan kita yang sesungguhnya makin tampak nyata. Hakikatnya, kekayaan tidak lagi diukur dari seberapa banyak harta dan materi yang kita miliki. Sebaliknya, kekayaan kita justru tampak melalui seberapa banyak milik kita yang bisa kita berikan secara tulus dan ikhlas guna membantu dan meringankan beban saudara-saudara kita yang membutuhkan sebagai bukti nyata rasa kebersamaan (sense of togetherness).
Apresiasi positif penulis sampaikan kepada mereka yang telah mendapatkan rezeki yang melimpah, dan sebagian dari rezeki itu secara tulus telah dipersembahkan guna membantu saudara-saudara kita yang masih dibelit kesusahan dan tertimpa musibah.
Wujud bantuan yang semisal aksi pemberian bahan pangan, makanan siap saji dan sandang murah, serta pengobatan gratis kepada masyarakat, siapa pun mereka, yang membutuhkan.
Baca juga: Inilah 9 Jenis Kolase Apik, Karya Seni Dapat Dibuat Sendiri
Melalui imlek ini kita dapat jadikan sebagai media untuk merenung, berkontemplasi, bersujud syukur ke hadirat Tuhan, berintrospeksi, serta memperbaiki tali silaturahmi dan tali persaudaraan sesama manusia. Imlek tahun ini tentu akan lebih bermakna bila digunakan untuk lebih meningkatkan kepedulian sosial terhadap lingkungan.
Bahkan, kesediaan berbagi terhadap sesama justru relevan dengan makna Imlek itu sendiri, yaitu pernyataan syukur dan doa kepada Tuhan agar diberi keberuntungan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kemakmuran yang lebih besar di tahun mendatang. Jadikan momentum imlek sebagai momentum untuk mengokohkan dan mempererat solidaritas bangsa.
Muhammad Fahmi, ST, MSi
Pemerhati masalah Sumber Daya Manusia dan masalah Tematik Bangsa
Kandidat Doktor Program Studi Manajemen Sumber Daya Manusia
(Universitas Negeri Jakarta UNJ)
Master of Ceremony (MC), Trainer Publik Speaking/Kehumasan
Salam Merah Mempesona Menggelitik Hati
fahmizidane2003@yahoo.com atau WA: 08158228009