HarianBernas.com – Setelah beberapa hari meninggalkan kantor untuk tugas ke luar, suatu pagi saya dihadapkan pada sekumpulan mahasiswa tingkat akhir dan lulusan baru universitas yang sedang magang di perusahaan saya. Berkumpul dengan orang muda mengingatkan ketika saya seusia 24-an tahun, masih semangat-semangatnya. Meski saat ini usia saya sudah dua kali lipatnya, saya berharap bisa ketularan semangatnya.
Ternyata harapan saya meleset. Setelah mereka saya kumpulkan di ruang meeting untuk sekadar ngobrol dan sharing, dari sekitar 12 pegawai magang hanya 2 yang saya pandang memiliki semangat yang cukup tinggi. Saya tidak melihat adanya spirit fighting pada rata-rata pegawai magang tersebut. Saya berusaha berpikir keras mengapa bisa demikian.
Baca juga: Jurusan IT: Pengertian, Mata Kuliah, dan Prospek Kerja Terbaru
Setelah sesaat berusaha mengamati proses belajar mengajar di universitas saya menduga fenomena ini diakibatkan oleh terlalu fokusnya universitas mengejar target-target akademis untuk keperluan akreditasi dan berbagai kemudahan yang diberikan kepada mahasiswa agar bisa mencapai target tersebut.
Dengan adanya target-target akademis ini, membuat kecenderungan mahasiswa terlalu menyibukkan diri pada kehadiran kuliah dan tugas tugas akademik. Target kehadiran kuliah lebih dari 75% dan jadwal praktikum serta tugas tugas membuat mereka berpikir dua kali lipat untuk ikut organisasi mahasiswa atau ikut kursus Bahasa Inggris dan pengembangan diri.
Dari pihak kampus mereka ditarget untuk lulus secepat cepatnya dengan hasil setinggi tingginya. Orang tua para mahasiswa pada umumnya juga sepakat dengan target target ini. Harapannya lulus dengan cepat akan menghemat biaya pendidikan dan bisa cari kerja lebih awal dan memperoleh gaji yang tinggi.
Untuk mendukung target target ini pihak universitas membuat kebijakan kebijakan yang mengarah kepada pencapaian target rerata masa studi dan rerata Indeks Prestasi, antara lain dengan remedi dan semester pendek.
Baca juga: 14 Universitas Jurusan Teknik Informatika Terbaik di Indonesia
Setiap mahasiswa yang memiliki hasil ujian tidak diharapkan akan diberi kesempatan untuk mengikuti remedi, beberapa kampus juga rutin menyelenggarakan semester pendek untuk memberi kemudahan mahasiswa untuk mengulang dan meningkatkan nilai.
Dalam mengerjakan tugas-tugas dan laporan juga tersedia banyak kemudahan. Setiap ada persoalan sedikit langsung googling. Buku buku di perpustakaan semakin jarang dijamah. Kondisi yang ada di luar kampus juga terlalu memudahkan segala urusan mahasiswa.
Di luar kampus banyak pihak pihak yang siap membantu menerjemahkan, membuatkan makalah, menghitungkan statistik, mengerjakan tugas dan gambar, bahkan ada yang bisa membuatkan skripsi. Sepertinya semua bisa dibeli untuk mendapatkan kemudahan.
Baca juga: Inilah 10 Prospek Kerja Lulusan Akuntansi di Berbagai Profesi
Rasanya kurang bijak hanya menempatkan universitas sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam menyiapkan SDM. Meskipun saya juga dengar saat ini beberapa kampus juga membekali mahasiswanya dengan kemampuan soft skill. Bahkan ada yang mengajarkan kuliah kewirausahaan dalam kurikulumnya.
Saya menduga jangan jangan berbagai kemudahan ini yang membuat “mlempem-nya” fighting spirit lulusan Universitas saat ini. Pada akhir pertemuan dengan para pegawai magang, saya berpesan untuk selalu memiliki fighting spirit.
Pertama, harus memiliki passion, karena kita akan mengerjakan apapun dengan senang dan sukarela apabila sesuai dengan passion yang dimilikya. Kedua, memberikan kemampuan puncak yang dimiliki dalam melaksanakan setiap kegiatan. Karena dengan memberikan kemampuan puncak tidak akan mengurangi kemampuan yang dimiliki tetapi malah akan meningkatkannya. Ketiga selalu berproses melaksanakan kegiatan sambil berlatih dan belajar. jangan menghindari kesulitan tetapi bagaimana bisa menghadapinya dan mampu melalui kesulitan.
Berusaha selalu meningkat dan bermanfaat
Salam
Baca juga: 11 Jurusan Di Universitas Mahakarya Asia dan Peluang Karirnya